Jumat, 25 Mei 2012 | By: Choliday_21

Cerpen Remaja “Terimakasih Asma”

Aroma subuh telah terhendus oleh Tiar, dan telah terlaksana pula kewajiban mengisi buku absensi para Malaikat untuk menuntaskan pertemuan batin denganNya. Dia lanjutkan dengan membaca dua surat Al-Qur’an. Arrohman dan Al-waqi’ah menjadi lantunan terindah menyambut harinya. Pagi akan menjadi sempurna baginya setelah mensyukuri setiap nikmat yang telah nikmat terasa. “Alhamdulilah”. Sebuah rasa syukur di hatinya.
Mentari mewakilkan cahayanya untuk menembus ke dalam permadani. Pagi siap menyambut makhluk-Nya dengan kehangatan. Tiar menuju ruang tengah dengan membawa koran Jawa Pos di tangannya.
Benar saja telah tersaji dengan menarik teh dan roti di atas meja. Terlihat Asma sedang memegang Hand Phone milik Tiar yang tertinggal di meja depan. Asma sedang membaca sesuatu di Hape itu.

“Ehmmm..” mencoba mengalihkan perhatian Asma.
Spontan Asma kaget dan terlihat gugup melihat kehadiran Tiar. Langsung meletakkan HP serta bergegas pergi ke dapur...
Langsung saja Tiar memeriksa HP dan ternyata ada SMS dari Afida, dan pasti Asma telah membacanya..
“Assalam.., Hi apa kabar, Mas,, lama tidak berjumpa,,, Boleh gg aku kerumahmu skrang..??....(AFIDA)” isi SMS dari Afida.
Perasaan senang tiba-tiba berbalut dalam pikirannya, tanpa memikirkan perasaan Asma, langsung saja Tiar balas SMS dari Afida tadi.
“Waalaikumsalam,, Alhamdulilah baegh,, wah dgn sng hati Dek”
“Ok Mas,” Afida memastikan
Karena memang begitu senangnya mendapat kabar akan kedatangan Afida, Tiar segera menelponnya, juga untuk memastikan. Mereka berbicara di telpon seperti kebanyakan orang-orang pada umumnya, dengan mimik yang tak karuan,,, kadang tersenyum, tertawa, dan kadang pula dengan gerakan reflektif yang sedemikian rupa seperti topeng teater, namun tanpa sadar hal itu diperhatikan oleh Asma dari tepian pintu kamar, dengan muka yang muram menampakkan rasa cemburunya. Dia menepi pada pintu itu menatap tingkah dan bicara suaminya yang sedang menelpon Afida. Dalam telpon itu sendiri, Afida memastikan bahwa ia akan berangkat dari tempatnya sekitar jam 8.00 pagi.
Hari ini akan menjadi indah bagi Tiar, namun tidak begitu bagi bidadarinya yang cantik, Asma. Hatinya mengetuk rasa, ingin rasa cinta dan kasihnya berpamitan pada hati yang dia kuasai. Tangannya kaku, hanya dada yang bergetar cemburu dan matanya yang meneteskan air suci dari sanubarinya.
Jam menunjukkan pukul 08 lewat 30 menit, tapi Afida belum juga tiba. Tiar menunggu di teras depan karena benar-benar mengharapkan kedatangan tamu istimewanya kali ini. Entah apa yang sedang dia pikirkan, di satu sisi hatinya mengusulkan untuk tidak terlalu berlebihan terhadap Afida karena bagaimanapun juga dia sudah mempunyai seorang istri, di sisi lain dalam hatinya mengusulkan untuk mengabaikan istrinya Asma. Setan dengan gencarnya telah membakar sisi negatifnya hingga dia pun hanyut. Entah kemana idealis yang pernah dia payungi dalam hati, mugkin masih terbelenggu. Pengetahuan dan ilmu agama yang banyak dia ketahui seakan hanya menjadi penghias tirai di hatinya. Dia lupa akan apa yang dituntunkan oleh nilai-nilai itu. Hanya demi membesarkan hati pada seorang wanita. Seorang muslimah yang baik, berhiaskan agama, Afida. Namun, dia hanyalah makhluk-Nya, tak lebih.
Beberapa saat menunggu terlihat sebuah mobil taksi berhenti di depan gerbang rumahnya, dan seperti yang diharapkan sesosok wanita yang dia inginkan keluar dari taksi tersebut, ya Afida.
“Assalamu’alaikum Mas Tiar” Salam Afida kepadanya yang telah menunggu di teras rumah.
“Wa’alaikumsalam Afida, gimana kabarnya..?” Jawabnya santai.
“Waa mas Tiar ko’ nanya kabar lagi, tadi kan sudah di telpon..” lanjutnya.
“biar percakapannya lebih panjang saja,, heee,, mari mari silakan masuk Afida”. Dia persilakan Afida masuk ke ruang tamu.
“Iya mas, makasih Mas..” tersenyum.
Waktu Afida memasuki ruang tamu, sepertinya dia masih agak kaget, dia melihat kesana kesini memutari ruang tamu.
“Waaahh, kamu sudah jadi orang sukses Mas..” Ucapnya pada Tiar.
“Maksudmu apa Afida..?” pura-pura tak mengerti.
“Iyaa, sepertinya kamu sudah sukses di dunia ini, lihat saja rumahmu yang besar ini Mas. Oiya, mana istrimu, mmmmm Asma yaa..iya..iya..mana..???” tiba-tiba Afida menanyakan Asma.
“Mungkin dia masih di belakang, kamu silakan duduk dulu,, aku mau panggil Asma” Tiar segera pergi ke balakang mencari Asma karena dia pikir juga bukanlah hal yang baik bila menerima tamu bukan seorang yang mahram tanpa sepengetahuan istrinya, Asma.
Dia mencari Asma di dapur dan di kamarnya, tidak ditemukan juga, namun akhirnya dia temukan Asma sedang sendirian di halaman belakang rumah. Asma sedang memikirkan sesuatu dengan buku berisi rancangan-rancangan fashion muslimah di tangannya. Asma sangat menyukai busana-busana muslimah terutama kerudung. dia memang ingin kembali bisa membuka usaha butiknya yang dia vakumkan setelah menikah dengan Tiar. Hanya saja dia lebih memilih untuk mementingkan tugas dan fitrahnya sebagai seorang istri.
Tiba-tiba Tiar menghentikan lamunannya.
“Heyy Asma, di sini kamu taa dari tadi. Apa kamu tidak tahu kalau di depan sedang ada tamu..?” Tanya Tiar dengan nada datar
“Maaf mas, aku benar-benar tidak tahu kalau ada tamu. Baiklah aku akan ke sana sekarang juga..” berdiri dan menuju ruang tamu.
##### di Ruang Tamu...
“Waaahh ada tamu rupanya yaaa,, temannya mas Tiar ya mbak..??” Asma menyapa Afida dengan sangat ramah. Menyembunyikan dinginnya perasaan cemburu yang dirasakan. Meski tangisannya tak pernah sampai di kedua matanya.
“Iyaa mbak, saya Temannya mas Tiar, perkenalkan saya Afida, Maulidiya Muafida.. mbak pasti istrinya mas Tiar yaaa..mbak Asma kan, waaaa dulu mas Tiar sering cerita-cerita tentang mbak sama saya loo..bener kata mas Tiar mbak Asma memang cantik orangnya, juga baek dan ramah..” Afida memuji Asma.
“waaahh mbak Afida ini berlebihan yaa,,,” menanggapi pernyataan Afida dan kemudian duduk di kursi.
Setelah itu Tiar dan Afida terus saja berbincang-bincang, mereka sama-sama bercerita dan mengingat tentang masa lalu saat kuliah di UNS, saat-saat kebersamaan mereka. Terkadang Tiar sampai lupa kalau ada istrinya yang ikut duduk bersama. Sangat senang saat itu perasaannya, begitu pula Afida yang saat itu menampakkan senyumnya saat mendengarkan cerita dari Tiar. Namun, suatu hal yang sebenarnya Tiar juga tak tahu kenapa, dia mulai berpikir bahwa Afida masih menyukainya, masih mengharapkannya, dan dia pun juga begitu. Tiar terus berbincang dengan Afida melepaskan semua fantasi. Sementara Asma yang duduk di sebelah hanya menjadi pendengar yang baik, yang hanya menjawab dengan kata iya, ooo, atau pun emmm, desertai dengan uraian senyum yang dia paksakan terdesak untuk keluar dari bibirnya, padahal hatinya mengurai rasa kecewa.
Setelah banyak hal yang telah Tiar bincangkan dengan Afida.
Afida berkata.
“Sebenarnya maksud kedatanganku ke sini bukan hanya untuk bersilaturahmi, tapi juga untuk memberikan sesuatu untukmu Mas Tiar”. Afida membuka dan melihat tas yang dia bawa.
“Aduhhh,,, maaf Mas, sepertinya aku lupa tidak memasukkannya ke dalam tas, mungkin tadi ketinggalan di mejaku saat mau berangkat ke sini, maaf yaa...” Afida menjelaskan.
“Oooo tidak apa-apa Afida, emangnya apa sih yang mau kamu berikan padaku.?” Tiar sangat Penasaran.
“Ah bukan apa-apa, hanya sesuatu dan kebahagiaan, mungkin minggu depan aku ke sini lagi untuk mengantarkannya....boleh..??” menjawab dengan nada malu-malu.
“Ah tentu saja boleh mbak Afida, selalu terbuka pintu rumah kami untuk mbak” Asma menyahut dengan ramah, mendahului Tiar.
Tiar dan Asma mengantar Afida sampai di depan pintu rumah.
“Baiklah kalau begitu, saya mohon pamit dulu. Terima kasih atas keramahan kalian menyambut kedatanganku,, Assalamu’alaikum” Afida berpamitan.
“Wa’alaikumsalam” Bersama-sama Tiar dan Asma membalas salam Afida.
Bayangan langkah Afida telah hilang, langsung saja Tiar masuk ke kamar dan berganti pakaian. Entah mengapa dia masih sangat penasaran dengan sesuatu yang akan Afida berikan. Pikiran tentang perasaan afida padanya pun mulai muncul kembali, Dia semakin yakin bahwa Afida masih menyukainya dengan alasan karena Afida tetap menunjukkan sikapnya seperti dulu. Tetap ramah dan dekat dengan Tiar, apalagi Afida berkata bahwa dia akan memberikan sesuatu pada Tiar, dan itu pasti penghargaan yang spesial bagi tiar, pikirnya. Tiar mulai tidak karuan entah apa yang terjadi dia lupa kalau sudah memiliki Afida sebagai istri dan pendamping hidupnya.

# 10 Juni 2005
Ketika sedang mengerjakan tugas kantor, tiba-tiba saja Alarm di HPnya berbunyi. Tiar pun heran kenapa Alarm berbunyi di jam seperti ini. Langsung saja dia lihat. Ternyata itu Alarm pengingat acara, tampil di layar Hpnya “Besok Ultah Fida”.
“Wahhh, aku lupa kalo besok ultah Fida, hmmm aku harus memberikan sesuatu padanya, mungkin dengan begini kita akan dekat seperti dulu lagi...iyaa..iyyaaa..., tapi apa ya hadiah yang pas buat Fida...sepertinya dia tidak suka dengan perhiasan, apa buku islami sajaa yaaa, tapi kan koleksi bukunya sudah banyak,, terus apa yaa,, mmm iyaaa dulu kan dia suka ngoleksi kerudung.., yyaaa dia suka ngoleksi kerudung, sama seperti Asma” Dia pun berangan-angan dalam pikirnya. (yang ini lebay, edit lagi)
Waktu menunjukkan jam 04.30 sore, Dia mohon ijin pada atasan untuk pulang 30 menit lebih awal, dan diijinkan. Dia memacu mobil menuju sebuah butik tidak jauh dari rumahnya, butik ini memang khusus menjual pakaian muslim dan muslimah, jadi kerudung yang disukai oleh Afida pasti banyak tersedia di butik ini dengan berbagai model dan corak warna. Langsung saja Tiar mencari, dan ditemukan sebuah kurudung dengan model dan warna yang tentunya disukai Afida ditambah sebuah pakaian busana muslim yang warnanya sesuai dengan kerudung tersebut. Untuk sebuah kerudung berwarna Coklat tua beserta busana muslimah itu dia harus membayar uang 1 juta 150 ribu rupiah. Uang sebanyak itu memang tidak seberapa dibandingkan dengan penghasilannya.
Setelah dari butik itu Tiar segera pulang.
“Assalamualaikum” Tiar sampaikan salam saat membuka pintu.
“Waalaikumsalam” asma menjawab dari dalam.
Asma sedang menyapu lantai di ruang tengah. Tiar langsung saja menuju kamar, meletakkan bungkusan itu di atas kasur, berganti pakaian, dan menuju kamar mandi. Setelah dari kamar mandi Tiar melihat bungkusan kerudung itu berada dalam posisi berbeda dan agak sedikit terbuka.
“mungkinkah Asma membukanya,,entahlah mungkin hanya pikiranku saja” pikir Tiar.
Terus saja dia ganti baju dan menuju ruang tengah untuk nonton TV sambil menunggu kumandang Azdan maghrib. Tak terdengar suara dari Asma, mungkin dia sedang mandi, tapi sudah tersedia segelas susu dan roti di meja, selalu seperti ini, Asma mengerti kesukaannya, setiap pulang kerja dia selalu menyiapkan segelas susu dan roti dan Tiar suka dengan hal ini.
Malam hari setelah shalat isya’ Tiar menghubungi Afida, berhaharap dia bisa bertemu dengannya agar bisa memberikan hadiah ulang tahun untuk Afida. Setelah mereka berbicara dalam telepon ternyata Afida bisa. Besok pagi jam 10.00 di depan kantornya. karena Tiar mengatakan hanya sebentar saja jadi Afida akan minta ijin sebentar untuk menemui Tiar di depan kantornya.
Tiba-tiba Asma masuk ke dalam kamar, kali ini dia sangat berbeda. Wajahnya tampak cerah dan banyak senyum di wajahnya, tidak seperti biasanya yang memaksakan bibirnya mengurai senyum, kali ini dia benar-benar tersenyum dari hati, dari sebuah sumber sikap dan perasaan. Tiar bertanya-tanya entah apa yang telah membuat Asma berbeda padahal sikapnya pada Asma biasa saja, masih seperti sebelumnya dengan raut muka cuek dan bicara seperlunya saja. Karena Tiar begitu heran, dia pun paksakan untuk bertanya.
“Kenapa kamu senyum-senyum.?” Bertanya Sinis.
“Tidak apa-apa Mas, lagi senang saja Mas Tiar” Asma menjawab dengan senyum seperti anak yang manja.
“Maksudmu..?, senang bagaimana.,.?” Makin penasaran.
“Ya senang, ternyata Mas Tiar masih ingat..” Lagi-lagi menjawab singkat dan meninggalkan kamar dengan senyumnya setelah meletakkan pakaian ke dalam lemari.
Perangainya yang berbeda membuat Tiar benar-benar penasaran, apalagi dia mengatakan bahwa ia sedang bersenang hati. Satu lagi yang membuatnya ingin tahu, Asma mengatakan “ternyata Mas Tiar masih ingat”, apa maksud dari kata-kata itu, Tiar semakin penasaran.
“Tapi entahlah mungkin memang bukan apa-apa jadi tidak perlu aku memikirkan hal ini lagi, lagian Asma juga tidak menjawab pertanyaanku”. Tiar meracau.
Keesokan harinya, sesuai janji Tiar menemui Afida di depan kantornya. Dia berikan hadiah ulang tahun yang telah dibelikan untuk Afida.
“Selamat hari lahir untukmu Afida” Sembari memberikan hadiah itu.
“Waaaahh, terimakasih Mas Tiar..ternyata ini taa maksudmu ingin menemuiku, sekali lagi terimakasih Mas Tiar masih ingat hari lahirku” Afida berterimakasih.
“11 Juni 1979, akan selalu kuingat, heeee... sudah dulu yaa aku masih mau ke kantor lagi, aku kan juga sudah janji hanya menemuimu sebentar, eeeehhhh jangan lupa janjimu untuk berkunjung ke rumahku lagi hari minggu, ya sudah Assalamu’alaikum..,” Tiar sampaikan salam.
“Ok.ok, hari minggu aku kesana, Waalaikumsalam” Tegas Afida.
Tiar pun langsung kembali ke kantor, memacu Toyota Rush miliknya.

***
Pulang dari kantor Tiar langsung menuju rumah, sesampainya di rumah sambutan hangat dari istrinya sungguh berbeda kali ini, senyumnya sangat natural seakan memuncakkan kegembiraan yang ada dalam hatinya. Memang tak akan mengalahkan indahnya surga tapi senyum Asma kali ini membuat Tiar sedikit menahan ludah. Tiar jadi teringat kejadian kemarin ketika istrinya juga memberi senyum indah itu, ada bunga yang sedang bermekaran di hatinya meski Tiar tidak pernah menyirami bunga itu, sungguh dia penasaran dengan perubahan sifat Asma yang kini memancarkan kebahagiaan yang lepas tanpa ada jerat paksaan untuk menampakkan rona garis senyum yang ranum di bibirnya.
Langsung saja Tiar menuju kamar, lagi-lagi dia dikejutkan. Ornamen penghias kamar pun kini berganti, semua tampak bersih dan dengan warna baru menampakkan sentuhan romantis seperti suasana pengantin baru. Asma telah melakukannya untuk sang suami, Tiar. Terasa sangat mempesona dan nyaman dipandang.
Tiar pun mulai berpikir akan kebaikan istrinya, tentang apa yang dia tampakkan dalam sikapnya terhadap Asma selama ini, yaitu sikap yang selalu cuek dan acuh terhadap semua hal yang telah Asma berikan padanya. Kebaikan yang tak berbalas apapun darinya. Bahkan sebongkah senyuman dari Tiar pun tak menghampirinya. Spontan saja Tiar memanggil Asma dan menanyakan tentang semua ini, tentang semua hal yang dia lakukan akhir-akhir ini, dan kali ini tidak ragu Tiar ucapkan sebuah penghargaan sederhana yaitu ucapan “terimakasih”. Terlihat begitu bersinarnya wajah Asma saat Tiar ucapkan terimakasih padanya, mungkin karena ini memang ucapan romantis pertama yang Tiar haturkan pada istrinya, dengan senyum dan sedikit perasaan malu dia balas ucapan terimakasih Tiar.
“Sudah menjadi tugas seorang pendamping hidupmu untuk memberikan yang terbaik pula bagimu, Mas”.
Setelah mengucapkan kalimat yang begitu diplomatis tersebut Asma meninggalkan kamar dengan raut yang masih bersemu malu dan bahagia.
Berbeda dengan Asma yang beraut bahagia, kini Tiar benar-benar bingung dan heran dengan tingkah Asma akhir-akhir ini, dia pun mulai mereview hal-hal yang telah dilakukan pada Asma akhir-akhir ini. Tidak ada hal spesial yang telah dia berikan atau lakukan pada Asma, bahkan beberapa hari lalu Afida baru saja bertamu ke rumah ini. Seharusnya Asma kecewa atau pun cemburu pada Tiar. Tapi entahlah mungkin ini memang kemauan Asma saja.
*Selasa, 12-Juni-2005
Saat pagi masih buta Asma membangunkan suaminya untuk bermunajat pada ilahi dalam shalat, Tiar pun terjaga dari tidurnya. Setelah menghadapkan dirinya pada tuhan dalam shalat Tiar bersantai di balkon depan sembari menunggu waktu shalat wajib, subuh. Karena merasa kedinginan dia menuju kamar untuk mengambil pakaian tebal dan shal untuk melindungi dari rasa dingin yang menusuk hingga beberapa lapis kulitnya. Saat dia melintas di depan ruang musholah tanpa sengaja mendengar Asma yang sedang memohonkan do’anya pada Allah, karena penasaran Tiar pun diam sejenak untuk mendengar do’a dan ucapan-ucapan yang Asma haturkan ke hadiratNya.
“Yaa Rabb, Alhamdulilah Engkau telah mengabulkan do’aku selama ini, doa yang tidak pernah putus aku haturkan padamu dalam setiap munajat dan hatiku yang mengazam padaMu, hari ini akan menjadi awal kebahagiaan bagiku, awal kebahagiaan yang sesungguhnya dalam pernikahan kami, walau sebenarnya aku pun bahagia meski selama ini harus menjalani hidup bersama Mas Tiar sebagai seorang istri yang hanya dalam status pernikahan saja, terimakasih ya Allah Tuhan yang menjaga hati dan mendengar setiap do’a hambaMu,, jadikanlah ketetapan hati pada suamiku ya Allah agar pernikahan yang menjadi sunah Rasulmu bisa kami jalani untuk mencapai ridho ilahi membentuk sebuah pohon keluarga dengan akar yang kuat, daun yang lebat, serta buah yang manis semanis nikmatnya pahala-pahala yang engkau berikan pada hamba-hambaMu”. Seperti itulah munajat do’a Asma ke hadirat Ilahi.
Tiar sejenak terhenyut lalu melanjutkan langkah menuju kamar dan berdiam memikirkan apa yang akhir-akhir ini telah terjadi. Beberapa kali sejak kemarin dia selalu disuguhkan dengan hal-hal yang tidak mudah untuk dimengerti, tidak mudah dia terka dalam pikirnya, ingin sekali dia menanyakan pada Asma apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya, hingga kini dia begitu berbeda di hadapan Tiar. akhir-akhir ini Asma terlihat begitu bahagia, Dia memberikan perhatian yang begitu ramah dan dengan senyuman yang begitu berbeda bila ada di hadapan Tiar kini,. Namun lagi-lagi egoisme hati menahan ribuan keinginan Tiar untuk mengutarakannya pada Asma, hingga dia putuskan untuk membiarkan suasana hati dan pikirnya ini dalam kegalauan dan kediamannya.

***
Seharian sikap Asma pada hari itu benar-benar berbeda, hingga pada saat malam hari sikapnya tetap begitu ramah pada Tiar, kali ini dia benar-benar telah mempesonakan hati Tiar dengan terlihat begitu cantik di hadapan suaminya. Hanya lelaki yang tidak normal saja yang tidak akan terpancing syahwatnya melihat kecantikan Asma malam itu.
Namun, seolah berkurang dengan bertambah larutnya malam untuk menjelang esok hari, terlihat wajah Asma membiaskan kecemasan yang berpancar pada harapan, entah apa yang sedang dia harapkan di hari itu. Asma selalu berada di dekat Tiar. Malam semakin larut hingga Tiar putuskan untuk meninggalkan rona kehidupan dengan menutup mata dalam sebuah kematian sesaat.
Pagi hari Tiar bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, semua hal yang dia butuhkan telah disiapkan oleh Asma, mulai dari pakaian, sepatu, tas, hingga makanan kesukaan sudah Asma siapkan diatas meja, namun ada satu yang hilang kali ini. Tiar tidak melihat senyum bahagia dan perhatiannya yang spesial dari Asma seperti kemarin. Tiar mencari Asma untuk berpamitan dan kembali mengucapkan terimakasih atas kebaikannya hari ini. Pada saat melintas di depan ruang shalat Tiar melihat Asma sedang mengadu pada Allah, seperti apa yang dia temui kemarin.
“.....Baiklah Tuhanku, bila aku harus lebih lama bersabar, aku akan menjalaninya demi kebahagiaan yang Engkau janjikan dalam keluarga ini”
Hanya bagian itulah yang Tiar dengar dari Asma. Tiar memanggilnya dengan suara yang tidak biasa dia nampakkan pada Asma, dengan nada halus layaknya seorang suami yang begitu menyayangi istrinya.
“Asma..Asma..Asma”. tiga kali Tiar memanggilnya karena Asma tidak begitu jelas mendengar.
Saat Asma sadar bahwa Tiar sedang memangilnya, langsung saja dia merespon serta dengan gugup menyimpan sebuah buku tebal yang sejak tadi ada di sampingnya. Tiar tidak tahu buku apa yang Asma sembunyikan., Tiar pun tidak terlalu memikirkan buku itu.
“Asma, aku berangkat kerja dulu yaaa, dan,,,,mmmmmm terimakasih atas kebaikanmu, Asslamualaikum”.
“Waalaikum salam”Asma membalas salam sembari bergegas berdiri.
Jam menunjukkan pukul 12.30 WIB, namun semua pekerjaannya telah selesai. Hari ini memang Tiar bisa pulang lebih awal karena tidak ada tugas pekerjaan di lapangan. Karena malas untuk pulang dia masih duduk bersandar di ruang kerja Sembari mensyukuri apa yang telah Allah berikan padanya, kesehatan, nikmat lahir dan batin hingga apa yang telah dia kerjakan dan dedikasikan untuk tugasnya. Tiar membuka Komputer kantor dan melihat kotak masuk di E-mailnya. Ada 4 pesan yang masuk. Namun yang paling menarik perhatiannya adalah pesan dari sahabat lamanya “Zainur” ketika di UNS. Tiar membuka pesan Zainur.
“Khayfa Khalluk yyaaa Akhii Tiar..., Ana hanya ingin berbagi kebahagiaan bahwa Ana akan segera menikah menyusul Anta yang sudah menikah duluan,,, satu hal lagi, Antum pasti akan terkejut kalau tahu siapa wanita yang insyAllah ditakdirkan denganku ini..., hmmm... sekian dulu ya Bang Master Tiar.....”
(Reply),,, Tiar membalas E-mail dari Zainur...
“Khoiron jiddan Zainur,,, waaah congratulations yaaa,,, semoga nanti keluarganya menjadi sakinah, mawaddah wa rohmah,,, emangnya sapa bidadarimu itu,,??? Ko’ sampe buat aku terkejuuutt.,,, terlalu cantik yyaaa,,, ahh ada-ada saja kamuu..”
Setelah membalas E-mail dari Zainur Tiar membalas E-mail lain yang masuk.
Tiba-tiba saja Hape’nya berdering, dan ternyata Afida menelpon. Tiar sangat senang. Langsung saja dia angkat telpon dari Afida.
“Assalamualaikum, halo selamat siang Afida, Ada apa Afida..?”
“Wa’alaikumsalam, begini Mas, tentang rencanaku yang mau ke rumah mas Tiar, bagaimana kalau hari ini saja...nanti sore maksudnya...gimana mas, bisa nggak,,atau aku ke rumah mas ngasihkannya sama istri Mas, mbk Asma..”
“Oooo,, itu taa, boleh..boleh.., lagian aku sebenarnya sudah pulang dari kantor, jadi nanti sore bisaa...Ok aku tunggu di rumah nanti sore yaa..” memastikan.
“Ok mas, nanti sekitar jam 4 aku sudah sampai di sana..”
“Baiklah kalau begitu”
“Yaa mas, sampai nanti yaa,, Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, Afida”
Segera Tiar bersemangat kembali, dan langsung saja memacu mobil menuju rumah.

*****
“Assalamualaikum” Afida memberi salam dari luar dengan mengetok pintu.
“Waalaikumsalam” Tiar jawab salam dari Afida. Langsung saja dia buka pintu untuk Afida.
Saat pintu terbuka, Tiar sangat terkejut, ata lebih tepat disebut dengan perasaan yang begitu senang karena melihat Afida memakai busana yang dia hadiahkan di hari ulang tahun Afida beberapa hari lalu. Dengan perasaan senang dan bangga Tiar pun menyatakan pada Afida.
“Waaaaa Terimakasih Afida”
“Untuk apa Mas..?” Afida belum menyadari.
“Terimakasih telah memakai busana yang telah aku berikan.” jelasnya.
“Oooooo...ini taa Mas,, hhmmm,, kan harus menghargai pemberian orang lain,, apalagi ini pemberian orang yang sudah baik sama Afida, dari Mas Tiar”. Tersenyum layaknya bergurau.
Tiar sangat tersanjung mendengar kata-kata dari Afida, pujian yang dilayangkan kepadanya membuatnya merasa bangga.
“Ayoo silakan masuk dulu..., silakan duduk..” Ajak Tiar...
“Baiklah, tapi saya hanya sebentar saja ko’ Mas..” jawab Afida lirih.
“Afida, saya tinggal dulu yaaa, mau memberitahu Asma dulu..”
Tiar pergi menuju kamar, dia lihat Asma di dalam kamar sedang membaca buku, dari depan pintu Tiar katakan pada Asma kalau di depan sedang Ada tamu, dan meminta Asma untuk keluar menemui Afida. Setelah memberitahukan pada Asma langsung saja dia menuju ruang depan kembali menemui Afida, mereka membicarakan berbagai hal.
Sebentar saja Asma sudah datang menghampiri mereka. Kembali dengan senyuman yang kini kembali tampak dipaksakan terhias di bibirnya. Asma menyapa Afida.
“Waaa ternyata mbak Afida, ke sini lagi mbak..?”.
“Hmmm, Iyaaa mbak Asma” jawab Afida tersenyum.
Sejak awal tadi Asma selalu memperhatikan Afida dengan seksama, namun yang paling mengherankan perhatian Asma bukan pada diri Afida tapi lebih pada busana yang sedang Afida pakai, hingga Tiar mulai berpikir “Apa Asma tahu kalau aku yang menghadiahkan busana itu untuk Afida, tapi tidak mungkin karena aku tidak pernah memberitahukannya pada Asma tentang hal ini”
Sebentar saja Asma duduk ikut bersama Tiar dan Afida karena dia langsung meninggalkan mereka dengan alasan masih banyak pekerjaan di dalam. Matanya berkaca-kaca dengan suasana hati yang tidak lagi memberikan perasaan terhangatnya. Asma kecewa dengan apa yang telah dia lihat barusan dan pergi ke dalam dengan suasana kacau.
“Saya harus ke dalam dulu mbak Afida, masih banyak yang harus Asma kerjakan, silakan saja mbak ngobrol dengan mas Tiar tidak apa kok”. Dengan gugup Asma mengucapkannya dan langsung meraih langkah cepat dia meninggalkan Afida dan Tiar berdua menyembunyikan kemilau air mata yang memaksa jatuh dari matanya.
Asma tidak lantas pergi ke dalam dan mengerjakan sesuatu. Tiar lihat dia menuju dapur dan masih memperhatikan mereka dari tepian pintu. Tiar tidak begitu peduli dengan sikap Asma tadi, karena telah ada wanita tuntutan hati di depannya yang selalu membuat senang dan merasa bangga akan dirinya sejak dulu.
`Afida menempati kasta tertinggi di hatinya meski Tiar telah menikah dengan Asma yang tidak kalah baik dan cantik bila dibandingkan dengan Afida. Namun apa daya peraduan hatinya masih teguh pada perasaan yang dulu, perasaan ingin memiliki Afida lebih dari seorang teman bahkan hingga kini perasaan itu masih mengitari imajinasi dan inginnya.
Sekitar 15 menit Tiar ngobrol dengan Afida dengan saling membanggakan, Tiar membanggakan seorang Afida, begitu pula sebaliknya. Sampai tiba-tiba Afida mencari sesuatu di tasnya.
“waaaa...senang sekali bisa ngobrol dengan mas Tiar, sayang sekali saya harus pulang Mas, dan sesuai dengan janji saya kemaren, kali ini saya tidak lupa untuk membawanya, ini Mas”. Afida memberikan selembar undangan pada Tiar.
Sungguh tak dapat Tiar menahan kacaunya hati ketika dia melihat ternyata lembaran kaku itu adalah sebuah undangan pernikahan yaitu pernikahan Afida. Tiar tertegun membaca dan memandangi undangan tersebut hingga teguran dari Afida pun tak dia sadari.
“Mas..mas..mas Tiar..Datang ya sama mbak Asma ke pernikahanku..”
Tiar benar-benar bingung dengan keadaan ini, anak panah yang dia luncurkan kini terpental kembali ke arahnya, tak dapat dia berbuat apa-apa dengan keadaan ini. Tiar telah salah menilai keadaan yang menyapa hatinya. Tiar pikir kebaikan yang masih ditunjjukkan Afida kepadanya seperti dulu kala itu adalah sebuah sinyal bahwa dia masih menyukai dan menginginkan seorang Tiar yang kini kaku dengan ketidakberdayaannya.
Semua terjadi menjauhi keadaan yang Tiar harapkan, meski hal yang dia harapkan memang terlalu rumit untuk terjadi, “namun harusnya akan lebih indah dari hal ini” hatinya meracau kembali.
Tiar melihat di undangan tersebut seorang yang akan menjadi pendamping hidup bagi Afida Adalah Zainur Ridho, nama yang tidak asing terdengar di telinganya.
“Mas, aku pulang dulu yaaa, jangan lupa lhooo dateng..” tiba-tiba Afida pamit pulang.
“Tunggu,,tunggu Afida, Apa yang menjadi pilihan hatimu ini adalah Zainur, teman yang selalu bersama kita dulu..?”. Tiar bertanya memastikan.
“Iya Mas, aku bertemu dengan Zainur tiga bulan yang lalu, kemudian mas Zainur mengkhitbahku dan aku telah memilihnya untuk menjadi pembimbing dan penuntunku untuk meraih ridhoNya, mohon do’anya ya Mas..”
“Ohhh...Iya..iyaaa, tentu saja..selamat yaa..” Tiar sampaikan kata selamat dengan menutupi radang hati yang sedang menyelimuti pikirannya.
“Assalamualaikum” Afida senyum padanya.
“Wa’alaikumsalam”
Setelah Afida meninggalkan rumah, Tiar pun masih merasa kecewa, bukan kecewa pada seorang Afida, namun kecewa pada pikirannya yang selama ini menuntut dan menuntun untuk merasa memiliki seorang Afida padahal saat ini dia telah menikah dengan Asma.
“Bagaimana bisa selama ini aku dibodohi oleh logikaku, aku kalah pada tentara ifrid, aku kalahhhh..” pikirnya meracau
“apakah dulu aku tidak pernah berpikir bahwa tuntutan egoku ini memang tidak mungkin terjadi ataukah memang logikaku tidak pernah menghiraukan tiap usulan yang datangnya dari hati ini, hingga kini aku sendiri yang telah seharusnya menghukum hariku dengan kecewa” Tiar tercengang.
Ditengah rasa kecewa yang memendungi diri Tiar tiba-tiba Asma datang dengan membawa segelas minuman jeruk menghampirinya yang sedang duduk di kursi. Tiar lihat memang sejak tadi Asma memperhatikan dari tepian pintu di dapur. Mungkin dia merasa dan mengetahui apa yang sedang menimpa diri Tiar, sungguh baik perhatiannya pada Tiar.
“Kemana diriku selama ini, aku telah menyia-nyiakan sebongkah intan permata yang selama ini aku miliki, aku telah mengabaikan tiap perhatian Asma padaku melebihi perhatiannya selama ini pada dirinya sendiri..” Hatinya kaku
“Ini Mas, Asma bawakan minuman,, mungkin bisa menenangkan diri Mas tiar,, Maaf Mas ada apa sebenarnya hingga mas Tiar tampak begitu muram dan gusar tidak seperti biasanya yang selalu bersemangat..??”. Asma mengajukan pertanyaan padanya dengan nada lirih dan hati-hati.
“Terimakasih Asma, Maafkan Aku Asma,, sepertinya tidak perlu lagi aku bercerita tentang apa yang telah terjadi, kerena mungkin kau telah tahu jawabannya, aku melihat kamu memperhatikanku dari pintu disana”. Tak mampu untuk menjelaskan pada Asma
“Maafkan aku..” Respon Asma lirih dan mencoba meninggalkan Tiar menenangkan diri.
“Tunggu Asma”. Tiar menarik tangan Asma hingga Asma kini duduk di sampingnya.
Kali ini tanpa ragu lagi Tiar mendekap Asma yang ada di sampingnya dengan lembut. Tiar rasakan hangat tubuh Asma baginya. Sementara Asma merasa aneh dengan hal ini namun seperti inilah sebenarnya yang Asma harapkan, perhatian dan kasih sayang yang sesungguhnya dari Tiar, dalam dekapan peluk Tiar berbisik dengan nada lemah.
“Maafkan Aku Asma, Untuk saat ini pun aku belum bisa sepenuhnya mencintaimu, namun aku yakin kau mampu untuk membuatku membangun cinta padamu, dengan sikapmu, dengan perhatianmu, dan dengan setiap do’a yang selalu kau panjatkan di setiap sujudmu pada ilahi, serta dengan kemauanku yang tidak ingin kehilangan wanita terbaik sepertimu, bersamamu aku inginkan membangun rumah tangga yang seutuhnya, dengan satu tujuan meraih ridho ilahi....”
Belum selesai Tiar berbicara, Afida langsung memotong.
“Sudah Mas,,,sudah,,,Aku akan selalu seperti ini Mas selama dirimu adalah suami sahku,, meskipun diriku pernah sangat merasakan kekecewaan ketika dimana seorang istri yang sedang mengenang indah ulang tahun pernikahannya ‘12 Juni’ melihat sang suami membeli sesuatu yang sangat disukainya yaitu kerudung dan busana muslimah,, berharap barang tersebut menjadi hadiah ulang tahun pernikahan,, namun seperti orang yang putus asa ketika ternyata barang tersebut mas diberikan kepada wanita lain,, aku kecewaaa Mass, batinku hancur kala itu,, aku tahu kamu memberikan busana muslimah dan kerudung tersebut pada Afida,, Aku runtuh Mas,,, aku seperti berjalan di atas padang pasir yang tak ada aroma air pun terasa. Namun aku menanti jawaban setiap munajatku pada Allah, dan mungkin inilah jawaban dari setiap munajatku” Asma menangis dengan tersendat.
“Maafkan Aku Asmaaa....Aku lebih bodoh dari makhluk-makhluk jahiliyah” Pungkas Tiar dengan Asma yang masih dalam dekapannya.
“Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi)
Kini hari-hari sebagai keluarga yang sebenarnya mereka lalui, mereka menunaikan ibadah bersama dan setiap Tiar akan pergi ke kantor selalu sebuah kecupan manis mendarat di kening istrinya, Asma... manisnya keluarga kini terasa oleh mereka.
***
Suatu malam Tiar dan Asma nonton TV bersama di ruang depan. Seorang istri yang baik ini tidak pernah protes meski acara yang Tiar tonton adalah pertandingan sepak bola. Chelsea sedang menjamu Manchester United. Meski Asma sama sekali tidak suka dengan sepak bola matanya tetap berusaha untuk menikmati apa yang tampil bergerak di layar televisi...
“Mas, asyik juga yaa nonton bola...,, membuat bola mata saya juga harus kesana kemari mengikuti bolanya,,, heee”. Memecah kesunyian dengan candaan.
“Heee,, sudah sana kamu ke kamar saja,, tidur duluan...dari pada bola matanya entar bolak-balik terus,,,hhmmm..lagian sebentar lagi sudah mau selesai pertandingannya..”.
“Baik Mas, meskipun sebenarnya mataku belum memberi sinyal ngantuk, biarlah saya mau baca buku saja di kamar, dari pada nonton sepak bola yang tidak karu-karuan seperti itu,,tontonan apa sihh itu..,hehemmm”. Bergagas meninggalkan Tiar dan sepak bolanya dengan senyum mengejek tiar.
Beberapa menit kemudian berakhir pula tayangan sepakbola yang dimenangkan Chelsea dengan skor 3-1. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Seperti halnya Asma, Tiar tidak merasakan godaan mata untuk segera mengistirahatkannya. Tiar menuju kamar menghampiri Asma. Asma sedang membaca buku.
“Belum tidur Asma..?”. tanya Tiar sekenanya. Tiar langsung menuju kasur dan membaringkan badan menghadap langit-langit.
“Belum Mas, belum ngantuk, tapi mataku udah sakit baca buku dari tadi”
Tiba-tiba Asma datang menghampiri Tiar, meletakkan buku-bukunya dan menuju kasur ikut berbaring di sebelah Tiar. Dengan nada malu-malu asma mengutarakan sesuatu. Matanya menghadap ke langit-langit. Tiar melihat ranum wajahnya bersinar.
“Mas Tiar, Terimakasih atas semua hal yang telah mas tiar berikan pada Asma, terimakasih pula karena mas tiar kini telah benar-benar berusaha untuk mencintai Asma, semua dapat kurasakan dengan indah dan nikmatnya hidup, tapi maaf mas, satu hal yang telah lama mas tiar tidak lagi berikan pada Asma, mas Tiar melupakan kewajiban, karena sesungguhnya sebagai seorang istri bukan hanya mengharapkan nafkah lahir dari sang suami, tapi juga nafkah batin yang akan menjadi pelengkap kebahagiaan dalam pernikahan ini Mas, maaf Mas bila Asma menuntut hal itu..”
“Kamu benar Asma, Maafkan aku karena ego dan ambisiku, berbulan-bulan aku telah melupakannya, tak menghiraukan wangi mawarmu, mencampakkan surgawimu, meninggalkan salah satu kewajibanku sebagai seorang suami untuk memberikan keturunan sebagai buah cinta dari pernikahan ini”. Jawab Tiar mengerti maksud Asma.
Setelah beberapa perbincangan mereka pun saling mengerti apa yang hendak dilakukan. Tangan Tiar mulai bekerja menyentuh kerah baju yang melingkar di leher Asma, hendak membuka kancing baju Asma ....(huuuuzzzzzzzzzzzzz..?????).
“Tidak baca do’a barokah dulu Mas..?” Asma tiba-tiba menyela dengan tersenyum.
“Heeeee...Maaf..maaf bidadariku..”. Tiar pun membacakan do’a untuk mencari ridho Allah dan barokah yang insyAllah akan mereka dapatkan. Tiar kecup kening Asma. Asma kembali berbaring di tempat tidur dengan mata setengah terpejam dan dihiasi senyum yang menggugah hati Tiar. Hatinya bergetar. Tiar memulai tugasnya sebagai seorang suami dan Asma memberikan semua hal yang hukumnya menjadi halal karena pernikahan mereka.
“Dua insan memadu kasih, mengindahkan nikmat ilahi, dengan penuh cinta dan hati yang berdebar malam itu Asma menjadi milik Tiar dan Tiar pun memiliki Asma dengan penuh rasa cinta. Gelap malam menjadi peraduan mereka. Sesekali angin malam menyapa mereka malu, berhembus dari jendela dan membelai tubuh mereka pelan serta memberitakan pada empunya bahwa dua insan yang dibalut cinta telah memadu kasih.
Nikmat ini memang datang tidak di awal pernikahan mereka, pernikahan yang dulu belum berbunga cinta, kenapa nikmat itu baru terasa indah saat ini.
“Dan sesungguhnya Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kali yang lain”
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”

Sungguh tidak ada keinginan, dan niatan kami untuk mendustakan nikmatMu ya rabb, Arrahman, Arrahimm..., namun bila kami pernah mendustakan nikmatMu maka ampunilah dosa kami..
“Maka terhadap nikmat Tuhanmu yang manakah kamu ragu-ragu.?”
Kami tiada keinginan untuk mengabaikan nikmatmu, karena kami tiada ragu dengan segala nikmatmu, syukurlah yang kami tumbuhkan dari hati ini...Arrahman..Arrahimm.., namun bila kami telah meragukan nikmatmu, ampunilah dosa kami, jauhkanlah sifat-sifat syaitan dari kami.
Jadikanlah nikmatmu ini sebagai sebuah pahala yang Engkau hadiahkan kepada hamba-hambamu yang selalu bersyukur.
“Sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur"
Indahnya perasaan mencintai dan nikmatnya kehalalan yang diberikan Allah telah dirasakan oleh dua insan pelebur cinta.

“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

“Seperti apa nilai tanggung jawab yang dimiliki seseorang,,,, sejauh apa mereka mengindahkan tanggungjawab tersebut, tanggung jawab bukan hanya dengan melakukan perbuatan tapi dengan diam dan menerima apa yang dikatakan keadaan pada diri kita,, menahan ucapan syetan yang mencoba untuk meleburkan sebuah nilai keutuhan juga bagian dari tanggungjawab,,, bukankah dengan sebuah pernikahan setiap insan telah mendiami sebuah kehidupan yang bertanggungjawab,,, bagaimana menjaga keutuhan beberapa kata “Pernikahan”, “Suami”, “Istri” menjadi kata yang harus dijaga keutuhannya,,, bukanlah dengan mudah kita mengucapkan kata “benci”, bahkan kata “talak”,, karena semua hal pasti memiliki dan ditemani oleh masalah,, hadapi masalah tersebut dengan kekuatan “Pernikahan” itu sendiri.
Satu tahun berjalan, kebahagiaan mereka bertambah, hadirnya dua anggota keluarga baru memberikan semangat baru dalam keluarga itu. 30 Juni 2006, Ya... telah terlahir dua buah cinta dalam keluarga itu. Mereka dikaruniai dua anak kembar yang lucu....
“Aku ingin anak-anak kita kalau besar nanti mirip dengan ayahnya yang selalu penuh semangat,,, hheeee”. Kata Asma pada Tiar.
Tiar Membalas perkataan Asma.
“Ahhhhh....tidak, Aku mau mereka bisa jadi seperti ibunya, yang sangat mencintai ayahnya yang tolol ini...hheee..”.
Asma tersenyum mendengar kata-kata dari Tiar,,
“Ooooo,, kalau begitu kita jadikan mereka seperti kita berdua, kita besarkan dan didik bersama,, Okkkeeyyy.....?”. Sambung Asma tersenyum.
“Okkkey”... Sambung Tiar dan mengecup kening Asma yang masih berbaring di rumah sakit setelah melalui saat-saat pengorbanannya ketika melahirkan kedua buah hatinya.
Kebahagiaan menaungi mereka, tak ada lagi keraguan pada diri mereka satu sama lain.

Cerpen ini berkaitan dengan Cerpen Remaja “Dunia Baru, Teman Baru”


Fuad Cholidi Arifin

0 komentar:

Posting Komentar