Ketika detik berikutnya akan menjadi lara, ketika menit selanjutnya hanya menambah duka, dan ketika terbayang satu jam selanjutnya akan terpampang bencana, maka bukanlah sebuah kepasrahan melainkan ketakutan baginya untuk sekedar memimpikan hari esok.
Hidupnya seolah memikul godam sejak usianya masih 5 tahun, bukanlah sebuah penyakit ganas yang menyerang tubuhnya, namun lebih dari itu dia kehilangan kebebasan hati dan pikirannya untuk melangkah jauh sesuai inginnya. Tami bagaikan kereta yang mau tidak mau harus berjalan sesuai alur yang telah ditentukan. Adalah orangtuanya yang menentukan kemana arah rel yang harus dilalui gadis cantik ini. Saat dia tertarik dengan sebuah cahaya di jalur yang berbeda ia harus mampu menahannya, semua dilakukan untuk orang tuanya, lebih tepatnya karena rasa takut pada mereka.
Beberapa ucapan dari orangtuanya mampu menghukum hati dan pikiran Tami. Tami kecil tidak boleh bermain-main air, tidak boleh bermain dibawah terik mentari, tidak boleh ikut teman sebayanya bermain rumah-rumahan tanah, tidak boleh pergi sendiri, tidak boleh ke arah barat, tidak boleh ke arah timur, tidak boleh ke utara, tidak boleh ke selatan, tidak boleh kotor dan lain sebagainya.
Beberapa tahun berlalu dengan jerat pembatas yang masih menahan Tami untuk berekspresi menunjukkan jati dirinya.
Saat Tami mulai menyentuh dunia pendidikan sekolah dasar kebebasan yang diimpikannya pun belum tiba meskipun dia sendiri belum mengerti apa itu arti kebebasan, yang dia tahu hanya rasa ingin dalam hatinya yang tak terlaksana.
Tami tetaplah Tami yang tidak berdaya akan titah orangtua yang semakin menenggelamkan fantasi keinginannya. Beberapa aturan yang baru pun mulai menjadi santapan ketidakikhlasannya setiap hari. Orangtuanya terlalu ingin Tami berada dalam sebuah keteraturan yang diatur, yaa... Pagi jam 5:30 Tami harus mandi, makan, dan jam 6 Tami harus sudah siap berangkat ke sekolah, bila lebih dari jam 6 maka Tami akan mendapati suara ibunya bak pukulan godam yang seolah menampar telinganya, dan dia pun harus siap untuk menangis sedu perlahan. Jam 12:00 pulang sekolah Tami sudah harus segera berada di rumah, makan siang, tidur pada jam 1 siang dan ibunya akan membangunkan jam 3 sore, itu pun bukan berarti Tami terbebas dari aturan, dia masih harus BELAJAR menyapu karena menurut ibunya agar Tami kelak menjadi istri yang baik (alasan macam apa untuk anak seusia itu). Karena harus menyapu itulah Tami harus menjawab “tidak” pada tiap ajakan teman sebayanya untuk bermain. Praktis waktu bermainnya adalah hari minggu, itu pun dia tidak boleh bermain terlalu jauh hanya di sekitar rumahnya.
Apa hasil dari semua itu..? yaaaaaa.., orangtua Tami merasa senang karena memang Tami selalu mendapat peringkat 1, 2, atau 3 di sekolah sejak SD dan SMP. Lagi.., Tami menjadi anak yang penurut, tidak neko-neko dan pendiam. Orangtua Tami menilai dirinya telah mampu memberikan penanaman karakter yang baik pada Tami, sementara Tami masih berada dalam ketidakikhlasan hati.
Saat Tami telah menjadi seorang remaja, dia menjadi sosok pendiam dan tidak mudah bergaul dengan temannya karena merasa kekurangan pengalaman hidup. Tami kini menjadi wanita yang dipenuhi kekhawatiran. ia sangat mengkhawatirkan pelajaran, Ia mengkhawatirkan ibunya, mengkhawatirkan ayahnya, mengkhawatirkan tindakannya, mengkhawatirkan orang disekitar yang juga tidak dia kenal, mengkhawatirkan apa yang akan terjadi, mengkhawatirkan seperti apa nanti malam, seperti apa esok siang, dan mengkhawatirkan semua keinginan dalam hatinya, akhirnya kini dia hanya seperti mutiara yang enggan untuk berkilau.
Selanjutnya Tami menempuh pendidikan kuliah, tentunya dengan jurusan yang juga telah dipilihkan orangtuanya. Lepas jauh dari orangtua bukan membuat Tami justru bebas berekspresi, karena secara otomatis kini mindset Tami menjadi seorang mahasiswa yang kaku, dia tidak mampu melangkah seperti teman-temannya untuk refreshing jalan-jalan dan mencari hiburan lain, bahkan ia tidak mengikuti satu pun kegiatan ekskul kampus. Kekhawatiran akan membuat orangtuanya kecewa memaksa Tami hanya mengazamkan waktu untuk belajar dan memikirkan kekhawatiran yang melebihi keinginannya.
Apa hasilnya..? Hasilnya sangat baik dimata orangtua Tami. Semester pertama telah dilalui, dan tentu saja Indeks Prestasi yang dia dapat cukup menjulang..., 3,72 dia dapatkan. Untuk ke sekian kalinya ibu Tami dibuat senang dan puas akan anaknya.
Suatu saat Tami membuat kesalahan pertamanya. Tami menghilangkan uang kiriman dari ayahnya 500 ribu. Tami pun menelpon ibunya.., dan inilah jawaban yang membuat Tami merasa mrnjadi orang yang paling bersalah di dunia..
“Kamu tau betapa bernilainya 500 ribu itu nak..?.., ayahmu setiap hari pergi mengajar untuk mendapatkan uang itu, kamu juga tau 500 ribu itu bisa buat apa..? itu tidak sedikit Tami, makanya kalo pegang uang kamu hati-hati..., pokoknya ibu ga mau tahu uang itu harus kamu cari”. Tentu saja dengan nada tinggi dan kasar, begitulah kata sang ibu yang langsung memutus telpon Tami..
Tami yang tidak biasa melakukan kesalahan pun kembali pada kekhawatirannya yang memuncak. Setiap hari saat pergi ke kampus Tami selalu lewat jalan dimana dia mengambil uang di mesin ATM, dan tentu saja sia-sia.., di dalam kamar Tami dengan suara kecilnya sering merenung “kasian bapak yang mencari uang itu susah payah, uang itu juga seharusnya bisa buat membeli kebutuhan di rumah, tapi aku menghilangkannya”. Itulah isi pikiran Tami akhir-akhir ini.
Setiap hari Tami hanya merenung di dalam kamar, tubuhnya pun mulai kurus memikirkan kesalahannya hingga pada suatu hari kekhawatiran yang sangat berlebih dalam pikirannya membuat Tami kehilangan kontrol. Tami pun stress.., dia berteriak-teriak layaknya orang hilang akal, dia tersenyum sendiri, dia tertawa sendiri, dan terlihat seperti orang anehh.
Setelah dikabari, Tami terpaksa dibawa pulang ke pamekasan oleh orangtuanya. Setelah beberapa minggu dalam pengobatan akhirnya Tami pun agak membaik, meski masih terlihat seperti orang dungu. Dan apa yang didapati orangtuanya..? mereka menyesal dan menyadari bahwa cara mereka mendidik adalah salah...
Sampai saat ini, sampai saat saya menulis postingan ini, Tami (bukan nama sebenarnya) masih dalam keadaan layaknya orang dungu.., jika melihat anak kecil sedang bermain di halaman rumahnya dia tersenyum gembira dan ingin ikut bermain.., saat dia melihat mainan adiknya dia ingin bermain, namun saat melihat buku-buku bacaan Tami menangis dan pergi menjauh.
Ketika ayah Tami menawarkan Tami untuk kuliah di Universitas lokal (pamekasan), Tami menjawab “Bapak, mengertilah aku yang sekarang benci dengan buku-buku, sekarang aku Cuma ingin bermain saja”.
Mungkin bagi Tami bahkan keadaan yang sekarang lebih menyenangkan dari apa yang dia alami tiap detik waktu berganti sebelumnya.
Sobat tenaga HATI, maaf untuk menampilkan cerita ini, tokoh dalam cerita ini adalah orang yang saya kenal dengan baik, bukan bermaksud menampilkan aib seseorang namun sekedar untuk memberi pengetahuan hati pada para pembaca bahwa setiap anak adalah spesial
“Ketika anda mencetak anak anda untuk menjadi berbeda dari apa adanya dirinya, itu artinya anda telah kehilangan anak anda” (Fuad_Choliday)
Hidupnya seolah memikul godam sejak usianya masih 5 tahun, bukanlah sebuah penyakit ganas yang menyerang tubuhnya, namun lebih dari itu dia kehilangan kebebasan hati dan pikirannya untuk melangkah jauh sesuai inginnya. Tami bagaikan kereta yang mau tidak mau harus berjalan sesuai alur yang telah ditentukan. Adalah orangtuanya yang menentukan kemana arah rel yang harus dilalui gadis cantik ini. Saat dia tertarik dengan sebuah cahaya di jalur yang berbeda ia harus mampu menahannya, semua dilakukan untuk orang tuanya, lebih tepatnya karena rasa takut pada mereka.
Beberapa ucapan dari orangtuanya mampu menghukum hati dan pikiran Tami. Tami kecil tidak boleh bermain-main air, tidak boleh bermain dibawah terik mentari, tidak boleh ikut teman sebayanya bermain rumah-rumahan tanah, tidak boleh pergi sendiri, tidak boleh ke arah barat, tidak boleh ke arah timur, tidak boleh ke utara, tidak boleh ke selatan, tidak boleh kotor dan lain sebagainya.
Beberapa tahun berlalu dengan jerat pembatas yang masih menahan Tami untuk berekspresi menunjukkan jati dirinya.
Saat Tami mulai menyentuh dunia pendidikan sekolah dasar kebebasan yang diimpikannya pun belum tiba meskipun dia sendiri belum mengerti apa itu arti kebebasan, yang dia tahu hanya rasa ingin dalam hatinya yang tak terlaksana.
Tami tetaplah Tami yang tidak berdaya akan titah orangtua yang semakin menenggelamkan fantasi keinginannya. Beberapa aturan yang baru pun mulai menjadi santapan ketidakikhlasannya setiap hari. Orangtuanya terlalu ingin Tami berada dalam sebuah keteraturan yang diatur, yaa... Pagi jam 5:30 Tami harus mandi, makan, dan jam 6 Tami harus sudah siap berangkat ke sekolah, bila lebih dari jam 6 maka Tami akan mendapati suara ibunya bak pukulan godam yang seolah menampar telinganya, dan dia pun harus siap untuk menangis sedu perlahan. Jam 12:00 pulang sekolah Tami sudah harus segera berada di rumah, makan siang, tidur pada jam 1 siang dan ibunya akan membangunkan jam 3 sore, itu pun bukan berarti Tami terbebas dari aturan, dia masih harus BELAJAR menyapu karena menurut ibunya agar Tami kelak menjadi istri yang baik (alasan macam apa untuk anak seusia itu). Karena harus menyapu itulah Tami harus menjawab “tidak” pada tiap ajakan teman sebayanya untuk bermain. Praktis waktu bermainnya adalah hari minggu, itu pun dia tidak boleh bermain terlalu jauh hanya di sekitar rumahnya.
Apa hasil dari semua itu..? yaaaaaa.., orangtua Tami merasa senang karena memang Tami selalu mendapat peringkat 1, 2, atau 3 di sekolah sejak SD dan SMP. Lagi.., Tami menjadi anak yang penurut, tidak neko-neko dan pendiam. Orangtua Tami menilai dirinya telah mampu memberikan penanaman karakter yang baik pada Tami, sementara Tami masih berada dalam ketidakikhlasan hati.
Saat Tami telah menjadi seorang remaja, dia menjadi sosok pendiam dan tidak mudah bergaul dengan temannya karena merasa kekurangan pengalaman hidup. Tami kini menjadi wanita yang dipenuhi kekhawatiran. ia sangat mengkhawatirkan pelajaran, Ia mengkhawatirkan ibunya, mengkhawatirkan ayahnya, mengkhawatirkan tindakannya, mengkhawatirkan orang disekitar yang juga tidak dia kenal, mengkhawatirkan apa yang akan terjadi, mengkhawatirkan seperti apa nanti malam, seperti apa esok siang, dan mengkhawatirkan semua keinginan dalam hatinya, akhirnya kini dia hanya seperti mutiara yang enggan untuk berkilau.
Selanjutnya Tami menempuh pendidikan kuliah, tentunya dengan jurusan yang juga telah dipilihkan orangtuanya. Lepas jauh dari orangtua bukan membuat Tami justru bebas berekspresi, karena secara otomatis kini mindset Tami menjadi seorang mahasiswa yang kaku, dia tidak mampu melangkah seperti teman-temannya untuk refreshing jalan-jalan dan mencari hiburan lain, bahkan ia tidak mengikuti satu pun kegiatan ekskul kampus. Kekhawatiran akan membuat orangtuanya kecewa memaksa Tami hanya mengazamkan waktu untuk belajar dan memikirkan kekhawatiran yang melebihi keinginannya.
Apa hasilnya..? Hasilnya sangat baik dimata orangtua Tami. Semester pertama telah dilalui, dan tentu saja Indeks Prestasi yang dia dapat cukup menjulang..., 3,72 dia dapatkan. Untuk ke sekian kalinya ibu Tami dibuat senang dan puas akan anaknya.
Suatu saat Tami membuat kesalahan pertamanya. Tami menghilangkan uang kiriman dari ayahnya 500 ribu. Tami pun menelpon ibunya.., dan inilah jawaban yang membuat Tami merasa mrnjadi orang yang paling bersalah di dunia..
“Kamu tau betapa bernilainya 500 ribu itu nak..?.., ayahmu setiap hari pergi mengajar untuk mendapatkan uang itu, kamu juga tau 500 ribu itu bisa buat apa..? itu tidak sedikit Tami, makanya kalo pegang uang kamu hati-hati..., pokoknya ibu ga mau tahu uang itu harus kamu cari”. Tentu saja dengan nada tinggi dan kasar, begitulah kata sang ibu yang langsung memutus telpon Tami..
Tami yang tidak biasa melakukan kesalahan pun kembali pada kekhawatirannya yang memuncak. Setiap hari saat pergi ke kampus Tami selalu lewat jalan dimana dia mengambil uang di mesin ATM, dan tentu saja sia-sia.., di dalam kamar Tami dengan suara kecilnya sering merenung “kasian bapak yang mencari uang itu susah payah, uang itu juga seharusnya bisa buat membeli kebutuhan di rumah, tapi aku menghilangkannya”. Itulah isi pikiran Tami akhir-akhir ini.
Setiap hari Tami hanya merenung di dalam kamar, tubuhnya pun mulai kurus memikirkan kesalahannya hingga pada suatu hari kekhawatiran yang sangat berlebih dalam pikirannya membuat Tami kehilangan kontrol. Tami pun stress.., dia berteriak-teriak layaknya orang hilang akal, dia tersenyum sendiri, dia tertawa sendiri, dan terlihat seperti orang anehh.
Setelah dikabari, Tami terpaksa dibawa pulang ke pamekasan oleh orangtuanya. Setelah beberapa minggu dalam pengobatan akhirnya Tami pun agak membaik, meski masih terlihat seperti orang dungu. Dan apa yang didapati orangtuanya..? mereka menyesal dan menyadari bahwa cara mereka mendidik adalah salah...
Sampai saat ini, sampai saat saya menulis postingan ini, Tami (bukan nama sebenarnya) masih dalam keadaan layaknya orang dungu.., jika melihat anak kecil sedang bermain di halaman rumahnya dia tersenyum gembira dan ingin ikut bermain.., saat dia melihat mainan adiknya dia ingin bermain, namun saat melihat buku-buku bacaan Tami menangis dan pergi menjauh.
Ketika ayah Tami menawarkan Tami untuk kuliah di Universitas lokal (pamekasan), Tami menjawab “Bapak, mengertilah aku yang sekarang benci dengan buku-buku, sekarang aku Cuma ingin bermain saja”.
Mungkin bagi Tami bahkan keadaan yang sekarang lebih menyenangkan dari apa yang dia alami tiap detik waktu berganti sebelumnya.
Sobat tenaga HATI, maaf untuk menampilkan cerita ini, tokoh dalam cerita ini adalah orang yang saya kenal dengan baik, bukan bermaksud menampilkan aib seseorang namun sekedar untuk memberi pengetahuan hati pada para pembaca bahwa setiap anak adalah spesial
“Ketika anda mencetak anak anda untuk menjadi berbeda dari apa adanya dirinya, itu artinya anda telah kehilangan anak anda” (Fuad_Choliday)
0 komentar:
Posting Komentar