Jumat, 15 Juni 2012 | By: Choliday_21

Tuhan Maha Cinta - Bagian I


Bagian 1
Duka di Konstantinopel Baru


Permadani senja telah menganga bak menumpahkan tinta biru pada sebuah kanvas luas bernama langit. Tak lagi ada bintang mengintip di balik gelap yang garang. Kini langit telah memamerkan kecantikan-Nya, tak terlihat segumpal awan pun hanya segerombolan burung camar yang hijrah menuju pantai istanbul bersenandung menyambut datangnya Juli. Angin yang riuh bersemangat mulai membawa aroma wangi tanah istanbul yang semalam untuk pertama kali diguyur hujan tahun ini. Inilah saat yang tepat untuk melemparkan senyum lebar kepada kota islam yang cantik, konstantinopel baru, Istanbul.


Namun, seberapa pun indah permadani senja tak mampu memanipulasi keruh hatinya. konstantinopel baru yang begitu cantik pagi itu seolah mentah tiada arti bagi sesosok wanita lemah di sudut sebuah kamar yang masih berhiaskan kelambu pengantin. Wangi bunga-bunga seroja masih tercium di kamar itu, tulip pun masih segar tertancap pada sebuah vas berair di sudut ruangan.

Sudah seminggu lamanya, mata sayu itu malu untuk bercumbu dengan senja, hanya mengelih tiap gerakan tangan yang dengan gemetar merajut benang tanpa tahu kemana jemari lentik itu berayun. Hatinya telah kehilangan gairah cinta, sementara dia biarkan ruang pikirnya meluas tanpa kendali dan mulai menyalahkan diri, menyalahkan dunia, menyalahkan siang, menyalahkan malam, menyalahkan waktu dan semuanya, kecuali sang ayah yang merupakan satu-satunya keluarga yang dia miliki.

Seminggu yang lalu wanita ini masih sangat ceria, lesung pipi Akashma pun masih sering terlihat saat menghiasi aluran senyum manis pada bibir merahnya yang tipis. Pesta dansa yang merupakan budaya menyambut hari pernikahan di turki, malam itu dilalui dengan bunga-bunga kebahagiaan, sangat energic dan bersemangat saat Akashma menari dan berdansa dengan ayahnya, tak ada yang sebahagia dirinya malam itu. Menunggu esok pagi, menunggu datangnya kekasih yang dipasangkan Tuhan untuk memulai perjalanan menimba nikmatnya cinta dalam sebuah pernikahan.

Namun, paras kebahagiaan mulai memudar bahkan lenyap keesokan harinya, tepat di hari pernikahan ketika dia mendengar bahwa Emre mengalami kecelakaan saat menuju tempat ijab qabul. Akashma sudah terlanjur menetapkan cinta, mengazam pada satu pelabuhan hati dan mengabaikan keindahan yang lain, dia terlalu bahwa indah cinta mengalahkan segalanya. Namun Tuhan maha berkehendak, Dia anugerahkan kebahagiaan lain pada Emre untuk segera bertemu dengan pemilik cinta sejati, sang maha cinta, Tuhannya.

Pria yang menjadi pilihan Akashma telah tiada. Wanita berselimut duka ini tidak memberikan sedikit pun ruang untuk kebahagiaan menyapa hatinya, ia bagaikan pohon kering yang enggan disapa mentari, tak mau memimpikan hujan, tak ada yang mampu menyegarkannya, hanya angin datang berhembus membawa tiap helaian daun yang mulai enggan melekat padanya, dia menyerah untuk bahagia dan mulai menghambakan dirinya kepada sepi. Saat-saat beribadah kepada Tuhan pun dilakukan untuk menunjukkan kesedihan dan kekecewaan pada-Nya yang telah mengambil kembali harta itu. Dia merindukan bunga-bunga hati yang pernah dianugerahkan Tuhan saat dia bersama Emre, merindu kematian untuk segara bertemu dan mengeluhkan nestapa hidup ini dengan Tuhan.

Akashma berada pada egosentrisme yang menjerat, kini tak ada lagi kesenangan dan rasa cinta di dunia. Dia menjalani hidup ini tanpa gairah hati. Ia mampu berjalan, mampu beribadah, dan mampu mengalurkan tangannya pada sebuah rajutan, namun ia tak mampu melihat bahagia. Seorang wanita yang gagal menikmati indahnya pernikahan, ia takut untuk memunculkan lagi setitik cinta di hatinya. Akashma, bunga yang layu dan seolah tak mampu untuk indah kembali meski dengan tetes air nirwana
Oleh: Fuad Cholidi Arifin

*Tunggu Episode selanjutnyaaaa....hheeeee......salam menulis... *_*

2 komentar:

Dian Nurlaila mengatakan...

Superrrrrrrrr
Akashma \m/ :D

Choliday_21 mengatakan...

ayo dukung akashma utk mnmukan kmbali apa itu cinta di edisi Tuhan Maha Cinta selanjutnya.nhee

Posting Komentar