Judul : Bangun Infrastruktur, Menteri Jokowi Rapat Pinjaman Luar Negeri
Sumber : Liputan6.com
Tanggal : 27 Feb 2015
Liputan6.com,
Jakarta - Seabrek program pembangunan infrastruktur di era pemerintahan Joko
Widodo (Jokowi) mulai dari pertanian hingga kemaritiman membutuhkan anggaran
signifikan. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P)
2015, pemerintah mengalokasikan pagu belanja infrastruktur sebesar Rp 290
triliun.
Untuk
menambah atau menutup anggaran infrastruktur, pemerintah Jokowi membutuhkan pinjaman
luar negeri. Dari catatan Kementerian Keuangan, utang pemerintah pusat per
Januari 2015 mencapai Rp 2.700 triliun.
Hari
ini (27/2/2015), sejumlah menteri Jokowi menggelar rapat koordinasi (rakor)
pinjaman luar negeri. Dihadiri Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan
Djalil, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri
Kesehatan Nila Moeloek, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.
Rencananya
juga dihadiri Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri Perhubungan
Ignasius Jonan, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno, Menteri ESDM
Sudirman Said, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, dan lainnya.
"Bahas
bluebook. Di Kementerian Pekerjaan Umum butuh pinjaman untuk proyek jalan tol,
air minum, bendungan dan irigasi (infrastruktur dasar)," jelas Basuki.
Sekadar
informasi, Utang pemerintah pusat hingga periode Januari 2015 mencapai Rp
2.702,29 triliun atau naik 3,7 persen dibanding posisi bulan sebelumnya Rp
2.604,03 triliun. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 25
persen.
Angka
itu, dinilai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil sangat
rendah bila dibandingkan negara lain yang mencatatkan rasio utang 100
persen-200 persen dari total PDB masing-masing negara.
"Rasio
25 persen itu masih sangat rendah. Apalagi jika digunakan untuk belanja
produktif, jadi tidak masalah. Jangan anggap utang itu jelek karena perusahaan
bisa jadi besar karena berutang," tegas dia.
Kata
Sofyan, pemerintahan Jokowi akan memprioritaskan penggunaan sebagian besar
utang untuk membangun infrastruktur. Seperti diketahui, pemerintah baru
ambisius menggarap berbagai proyek infrastruktur dasar seperti irigasi, waduk,
bendungan, jalan, sanitasi, dan sebagainya yang jarang dilirik investor swasta
domestik maupun asing. (Fik/Ndw)
ANALISA INFORMASI
Setelah memperhatikan isi informasi mass media di atas, berikut beberapa
hal yang perlu kita ketahui sebagai tambahan informasi sehubungan dengan
tulisan tersebut yang membahas tentang kebijakan pemerintah untuk melakukan
pinjaman luar negeri:
1. Pinjaman Luar Negeri
Bicara mengenai
Pinjaman Luar Negeri, kita perlu merujuk pada Peraturan Pemerintah RI nomor 10
tahun 2011 tentang Tata Cara Pengelolaan Pinjaman Luar Negeri, Berdasarkan
Peraturan tersebut Pengertian Pinjaman Luar Negeri adalah setiap pembiayaan
melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang
diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga
negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.
Pemerintah tidak serta
merta melakukan pinjaman luar negeri, semua harus diperhitungkan dengan matang
dan telah dianggarkan untuk menutup pos pembiayaan-pembiayaan tertentu dengan
beberapa batasan ketentuan yang ditentukan dalam peraturan dengan memperhatikan
tingkat risiko utang yang harus tetap terkendali. Alasan pemerintah melakukan
pinjaman luar negeri secara general
adalah untuk:
a. membiayai
defisit APBN;
b. membiayai
kegiatan prioritas Kementerian/Lembaga;
c. mengelola
portofolio utang;
d. diteruspinjamkan
kepada Pemerintah Daerah;
e. diteruspinjamkan
kepada BUMN; dan/atau
f.
dihibahkan kepada Pemerintah Daerah.
Proses birokrasi yang dilalui sampai
terbentuknya perjanjian pinjaman luar negeri melibatkan banyak sektor dalam
pemerintahan karena pembiayan-pembiayaan yang dianggarkan dari pinjaman luar
negeri tersebut tidak hanya pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat
saja melainkan akan digunakan oleh berbagai kementerian/lembaga, BUMN dan
pemerintah daerah. Berasal dari usulan perencanaan oleh setiap
kementerian/lembaga, BUMN dan pemerintah daerah itulah akan didapatkan rencana
pembiayaan pinjaman luar negeri. Usulan perencanaan oleh tiap
kementerian/lembaga, BUMN dan pemerintah daerah juga harus telah diikuti dengan
berbagai peningkatan kesiapan meliputi:
a. rencana
pelaksanaan kegiatan;
b. indikator
kinerja pemantauan dan evaluasi;
c. organisasi
dan manajemen pelaksanaan kegiatan; dan
d. rencana
pengadaan tanah dan/atau pemukiman kembali, dalam hal kegiatan memerlukan
lahan.
Perlu kita ketahui pula bahwa salah satu
proses penting dalam melakukan pinjaman luar negeri adalah perundingan dan
perjanjian. Perundingan di sini membahas mengenai ketentuan dan persyaratan
Pinjaman Luar Negeri yang melibatkan melibatkan unsur Kementerian Keuangan,
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, BUMN, dan/atau instansi
terkait lainnya. Hasil perundingan sebagaimana dimaksud dituangkan dalam
Perjanjian Pinjaman Luar Negeri yang ditandatangani oleh Menteri atau pejabat
yang diberi kuasa dan Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang memuat paling sedikit:
a.
jumlah;
b.
peruntukan;
c.
hak dan kewajiban; dan
d.
ketentuan dan persyaratan.
2. Analisa
Melihat angka utang/pinjaman luar
negeri Indonesia yang memiliki besaran mencapai Rp 2.702,29 triliun tersebut
sekilas memang membuat mata kita terbuka lebar, belum lagi kalau dilihat oleh
beberapa orang yang belum mengerti betul apa maksud, tujuan dan fungsi pinjaman
luar negeri tersebut, begitu pula media yang menyediakan informasi persuasif
yang langsung ditelan oleh pembaca seperti yang tercantum dalam salah satu
media online, “Utang Negara Capai Rp3.303 triliun, Tiap Bayi Baru Lahir
Tanggung Rp13 juta” sangat disayangkan bila berita seperti itu (dengan data
yang tidak dapat diandalkan) disampaikan dalam media, dari mana angka Rp13 juta
tersebut? Mereka menentukan angka tersebut dengan membagi habis utang negara
dengan jumlah warga negara Indonesia.
Menyikapi pinjaman luar negeri
Indonesia yang mencapai angka tersebut dengan rasio utang terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) sebesar 25 persen, masyarakat seharusnya tidak terlalu
reaktif dan tidak termuslihat dengan angka tersebut, karena tujuan pemerintah melakukan
pinjaman luar negeri bukanlah asal-asalan, semua telah terencana melalui proses
yang sistematis dan demokratif, bagaimana setiap unsur pemerintahan melalui
Kementerian/Lembaga, BUMN, dan Pemerintah Daerah bersama pemerintah pusat dan
DPR menyusun sebuah rencana pembiayaan yang “terencana” dan tercantum dalam setiap perumusan APBN. Terencana
dimaksud adalah besaran pinjaman luar negeri tersebut telah diperhitungkan
secara matematis dan sesuai dengan peraturan yaitu agar perencanaan pinjaman
luar negeri tidak melebihi Batas Maksimal Pinjaman (BMP) dengan
mempertimbangkan:
a. kebutuhan
riil pembiayaan;
b. kemampuan
membayar kembali;
c. batas
maksimal kumulatif utang;
d. kapasitas
sumber Pinjaman Luar Negeri; dan
e. risiko
utang.
Bagaimana dengan porsi dan alokasi atas pinjaman luar negeri
tersebut? Beda pemerintahan, beda pula arah kebijakannya namun tentu dengan
tujuan yang sama untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang sejahtera. Dari
beberapa literatur online saya menilai bahwa terdapat perbedaan fokus pembangunan
perekonomian Bapak SBY dan Bapak Jokowi, pada era Pak SBY pembangunan
perekonomian dan dukungan pemerintah langsung mengarah pada sektor ekonomi, bisnis
dan segmen pasar itu sendiri melalui penanaman modal pemerintah dan sebagainya,
namun tentu Pemerintahan Pak SBY tidak serta merta melepas infrastruktur,
terbukti dengan pembangunan beberapa infrastuktur besar seperti Jembatan
Suramadu dan sebagainya, sementara pada era Jokowi perekonomian justru dibangun
dengan mengutamakan ketersediaan infrastruktur yang akan mendorong kelancaran
arus perekonomian itu sendiri, bagaimana dengan kondisi pasar? Fokus dengan
infrastruktur bukan berarti melupakan sektor pasar, pemerintahan Pak Jokowi
menjembataninya dengan fasilitas-fasilitas usaha dan penanaman modal melalui
beberapa paket kebijakan yang telah dirilis. Perbedaan “gaya” tersebut secara
tidak langsung mempengaruhi porsi dan alokasi pinjaman luar negeri kita,
terbukti pada pemerintahan Pak Jokowi dana sebesar Rp8.631,4 miliar dari Rp29.942,9
miliar pinjaman luar negeri pada RAPBN 2016 diamanatkan pada Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai kementerian yang bertugas dan
bertanggungjawab menyediakan infrastruktur perekonomian yang menjadi fokus Pak
Jokowi.
Secara umum saya rasa pemerintah telah melakukan usaha
terbaik untuk membangun perekonomian Negara menjadi lebih baik secara kontinu,
tentu sebagai masyarakat Indonesia kita perlu untuk mendukung langkah
pemerintah untuk membangun perekonomian tersebut dengan tetap memiliki mata
elang yang selalu siap mengawasi jalannya pemerintahan dalam wadah birokrasi
dan mendukung netralitas lembaga-lembaga independen negara seperti BPK dan KPK
untuk selalu mengawasi proses pengadaan pinjaman luar negeri ini khususnya dan
proses berjalannya pemerintahan secara umum.
0 komentar:
Posting Komentar