A. INFORMASI PUBLIK
TRIBUNNEWS.COM,
JAKARTA- Kabar mengejutkan kembali datang dari dunia industri. Dua raksasa
elektronik asal Jepang, Toshiba dan Panasonic, memutuskan menutup pabriknya di
Indonesia. Pabrik yang ditutup berlokasi di Cikarang, Bekasi, dan di Pasuruan,
Jawa Timur.
Kabar ini diungkap
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Federasi Serikat
Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Said Iqbal.
Said mengatakan,
Toshiba akan menutup pabrik televisinya di kawasan industri EJIP Cikarang,
mulai April 2016 nanti. Toshiba akan tinggal menyisakan investasinya di
Indonesia berupa pabrik printer-nya yang berlokasi di Batam.
Penutupan pabrik
televisi Toshiba menyebabkan 900 orang buruh berpotensi menjadi korban PHK.
"Ini adalah pabrik televisi terbesar Toshiba setelah di Jepang," kata
Said Iqbal saat jumpa pers di depan awak media di Hotel Mega Proklamasi,
Jakarta, Selasa (02/02/2016).
Sementara, pabrik
Panasonic di Pasuruan akan membuat sekitar 600 buruh kehilangan pekerjaan.
Panasonic menutup dua pabriknya, yakni Panasonic Lighting Indonesia (PLI) di
Pasuruan, mulai awal Januari 2016 dan satu pabrik lain di Bekasi mulai Februari
2016.
Menurut Said,
Panasonic menyisakan investasinya pada tiga pabriknya di Indonesia. Yakni,
Panasonic Manufakturing Indonesia, Panasonic Energy Indonesia (memproduksi
baterai) dan Panasonic Healthcare (memproduksi alat kesehatan).
Said mengingatkan
Pemerintahan Jokowi bahwa keputusan dua perusahaan tersebut menutup pabriknya
di Indonesia merupakan alarm negatif bagi iklim investasi di Indonesia.
Sebelumnya, PT Ford Motor Indonesia (FMI) juga memutuskan hengkang dari bisnis
kendaraannya di pasar Indonesia.
kabar Toshiba akan
menutup pabriknya di Indonesia sudah berhembus sejak Desember 2015 lalu. Tak
hanya pabriknya di Indonesia, Toshiba juga dikabarkan siap-siap menutup pabrik
televisinya di negara lain.
Situs Nikkei 10
Desember 2015 melansir, Toshiba melakukan negosiasi akhir dengan calon pembeli
yang berminat mengambil alih pabriknya di Indonesia. Calon pembeli yang
menyatakan minatnya berasal dari Taiwan dan China.
Nilai penjualan ini
diperkirakan mencapai miliaran dolar yen Jepang. Nikkei juga menulis
kemungkinan Toshiba mengalihkan produksi televisinya ke pihak ketiga melalui
pemberian lisensi.
B. ANALISA INFORMASI
Tidak ada yang akan mengira Perusahaan sebesar TOSHIBA
dan PANASONIC akan menutup Pabriknya di Indonesia, kedua perusahaan asal Jepang
tersebut memutuskan untuk angkat kaki dari proses bisnis manufacturing di Indonesia, meskipun tidak secara total aktivias
produksi perusahaan-perusahaan tersebut ditutup. Namun, hal ini sangatlah
memberi dampak pada perekonomian di Indonesia baik dalam jangka pendek ataupun
dalam jangka panjang. Apa dampak tutupnya perusahaan-perusahaan tersebut dan
bagaimana seharusnya pemerintah bersikap? Berikut beberapa data yang dapat
dijadikan ulasan dan analisa atas pengaruh tutupnya perusahaan-perusahaan
tersebut terhadap perekonomian Indonesia;
1. Alasan
Penutupan Prusahaan
Memang
belum ada pernyataan resmi dari kedua perusahaan tersebut terkait alasan
penutupan perusahaannya di Indonesia. Namun, beberapa informasi menyatakan
penutupan perusahaan bukan karena persoalan kenaikan upah tapi karena daya beli
masyarakat menurun secara domestik dan global. Selain itu menurut Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) penyebab tutupnya pabrik tersebut, salah
satunya adalah produk yang kalah saing dengan Tiongkok dan rencana
restrukturisasi perusahaan.
Pada
perusahaan Panasonic, mereka menginginkan adanya added value pada produknya sesuai dengan perkembangan zaman,
produk lampu bohlam mulai digantikan dengan produk lampu light emitting diode
(LED), maka Panasonic memutuskan untuk mengalihkan produksinya ke lampu LED.
Tiga pabrik lampu Panasonic yang ada yaitu di Cikarang, Cileungsi dan Pasuruan akan
dilebur menjadi dua pabrik yang bakal memproduksi lampu LED.
2. Dampak
Penutupan Prusahaan
Pertama, Sudah
menjadi paket sebab akibat dari penutupan perusahaan yaitu munculnya gelombang
PHK, berdasarkan keterangan dari Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
(KSPI) Said Iqbal dalam konferensi pers di Hotel Mega Proklamasi, Jakarta,
Selasa (2/1/2016) bahwa Penutupan perusahaan tersebut berdampak pada PHK
setidaknya 2500 pekerja, jumlah yang cukup besar tentunya mengingat sulitnya
menyediakan lapangan pekerjaan baru bagi korban PHK tersebut. Hal itu akan
menambah angka pengangguran di Indonesia yang saat ini sudah mencapai 7,56 juta
orang pada bulan Agustus 2015 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik
(BPS).
Bertambahnya
pengangguran tentunya menyebabkan pendapatan per kapita masyarakat berkurang
dan dampak lanjutannya adalah menurunnya kesejahteraan masyarakat ditandai
dengan daya beli masyarakat terhadap barang-barang konsumsi menurun, begitu
pula dengan arus investasi masyarakat.
Kedua, Suatu kebetulan
atau tidak perusahaan-perusahaan tersebut memilih untuk menutup perusahaan di
Indonesia sesaat setelah perusahaan besar lainnya asal Amerika yaitu Ford Motor
Indonesia menarik diri dari Indonesia. Pertanyaannya adalah, apakah luar negeri
sudah tidak percaya lagi dengan iklim bisnis dan investasi di Indonesia?
Sebenarnya masih hangat kita dengarkan tentang paket kebijakan Presiden Jokowi
yang sudah mencapai 9 paket kebijakan, menarik kita melihat paket kebijakan
ekonomi jilid II yang isinya adalah; 1. Kemudhan layanan investasi 3 jam, 2.
Pengurusan Tax Allowance dan Tax Holiday Lebih Cepat, 3. Pemerintah Tak Pungut
PPN Untuk Alat Transportasi, 4. Insentif fasilitas di Kawasan Pusat Logistik
Berikat, 5. Insentif pengurangan pajak bunga deposito, 5. Perampingan Izin
Sektor Kehutanan.
Keenam
poin pada paket kebijakan ekonomi jilid II tersebut sangat terlihat betapa pemerintah
kita welcome terhadap penanaman modal
asing (PMA) dalam berbagai bentuk investasi. Tapi mengapa justru iklim
investasi yang dibangun sedemikian rupa tersebut justru mendapat reaksi negatif
dari beberapa perusahaan seperti Toshiba, Panasonic, dan Ford Motor. Pemerintah
perlu mengevaluasi kembali anomali ini, karena setiap kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah akan menjadi dasar bagi masyarakat dan investor untuk
melakukan kegiatan konsumsi dan investasi. Di sini, mungkin telah terjadi apa
yang telah dikemukakan oleh Robert Lucas yaitu kebijakan
pemerintah telah mempengaruhi ekspektasi investor dan yang terjadi adalah para
investor justru bertindak tidak sesuai dengan yang diharapkan pemerintah karena
efek samping dari kebijakan tersebut yang dinilai para investor merusak iklim
bisnis mereka. Sebagai contoh, dengan keterbukaan proses investasi di Indonesia
dan kerjasama yang “terlalu erat” antara Indonesia-China menyebabkan banyak
barang-barang asal China yang mengalir deras ke Indonesia, hal ini mungkin
dinilai sangat bagus oleh pemerintah, namun berbeda bila dilihat dari kacamata
investor yang sudah lama berada di Indonesia seperti Toshiba dan Panasonic,
masuknya peralatan elektronik asal China seperti handphone, laptop, televisi
dan peralatan elektronik lainnya dalam jumlah yang sangat besar dan harga hampir
setengah dari harga pasar yang kedua perusahaan tersebut tawarkan membuat pasar
domestik kedua perusahaan tersebut loyo karena bila melihat karakteristik
konsumen di Indonesia yang masih mengutamakan harga murah sehingga konsumen
lebih memilih produk China tersebut.
Sebagai
dampak dari menurunnya pasar domestik tersebut, akhirnya kedua perusahaan
tersebut melakukan penutupan perusahaan dan mencoba merekonstruksi perusahaan
dengan menciptakan produk yang memiliki nilai tambah dan bahkan bukan tidak
mungkin Toshiba dan Panasonic akan mengejar pasar di negara lain seperti
Vietnam yang mulai dilirik oleh banyak investor.
Ketiga, Sebagai
lanjutan dari dampak yang kedua, mengingat penutupan-penutupan tersebut
dilakukan oleh perusahaan yang punya nama besar hal itu akan membuat sentimen
negatif dari luar negeri terhadap iklim investasi di indonesia, sehingga
kebijakan yang bertujuan menarik investasi seluas-luasnya pun kurang efisien
dan investor mungkin cenderung akan wait
and see terlebih dahulu sampai dengan perusahaan yang masih bertahan di Indonesia
dinilai memiliki keuntungan atas investasinya di Indonesia.
3. Kritik
dan Saran
Melihat
dampak dari paket kebijakan ekonomi Jokowi jilid II, negara yang gencar dan
paling tertarik untuk melakukan investasi besar di Indonesia adalah China,
karena mereka menilai barang konsumsi hasil produksi mereka sesuai dengan
karekter konsumsi masyarakat Indonesia, tercatat Dua perusahaan asal China
memanfaatkan program layanan izin investasi 3 jam yang diresmikan pemerintah.
Masing-masing nilai investasi yang dicatatkan oleh investor China tersebut
sebesar USD 460 juta (Rp 6,21 triliun) dan USD 81,5 juta (Rp 1,1 triliun).
Entah berupa kecenderungan atau tidak arah perekonomian Indonesia seolah ber-partnership dengan China yang justru
membuat investor yang telah lama berada di Indonesia khawatir dengan pasar
produk mereka.
Seharusnya
perekonomian terbuka yang diterapkan pemerintah tetaplah harus memandang dan memperhatikan
iklim investasi yang saat ini berjalan. Perlunya kualifikasi kualitas produk
yang masuk dan/atau diproduksi di dalam negerimisalnya dengan menaikkan Standar
Nasional Indonesia (SNI) dengan begitu persaingan barang konsumsi di Indonesia
tetap terjaga dan perusahaan-perusahaan yang telah lama berada di Indonesia
merasa mendapat “perlindungan” pasar dari pemerintah.
0 komentar:
Posting Komentar