Rabu, 08 Februari 2012 | By: Choliday_21

“Permata yang Pergi”


“Permata yang Pergi”
(TIAR)
                Seberkas cahaya mulai mengintip dibalik awan mendung yang baru saja mengantarkan guyuran hujan ke petakan tanah yang kering. Hangatnya sinar yang mencoba untuk menyelinap menembus barisan daun mulai menerpa ke arah pipi tiar yang sedang tidur kelelahan. Cahaya itu menyilaukan matanya, dan tersadar bahwa dia sejak tadi tertidur di depan kos. Beberapa saat kemudian seorang pahlawannya datang. Pak pos yang sudah kenal akrab dengan dirinya mengantarkan surat balasan dari keluarganya di kampung.
                “Tidak mampir dulu Pak Slamet..?”. kata Tiar
                “Wahh.., gara-gara hujan ini tugas saya belum terselesaikan Mas.., lain kali saja yaa..”. Terburu-buru pergi.

 
                Dengan semangat tiar membuka surat itu, karena setiap kali dia membaca surat dari bapaknya semangat dalam hatinya selalu saja makin meggunung. Seperti biasa isi surat itu dibuka dengan salam dan beberapa nasihat yang tak bosan-bosannya Pak Zainal menuliskan. Dalam surat itu juga dituliskan bahwa keadaan semua keluarga di pamekasan sangat baik terutama keadaan ibunya. Tertulis pula pesan khusus untuk tiar dari ibunya untuk selalu semangat kuliah dan tidak terlalu memikirkan dirinya seakan memastikan bahwa keadaannya sangat baik saat ini. beliau juga mendo’akan semoga Ulangan Akhir semester yang dikabarkan oleh tiar akan berlangsung minggu ini dapat dijalani dengan maksimal dan mendapat nilai yang sempurna. Membaca surat itu tiar menjadi tambah kangen saja dengan keluarga, genangan air mata mulai mengintip ingin segera keluar saat tiar membaca pesan dari ibunya. Dia semangat kini, dia siap kini, dia ingin segera menjalani uas dengan semaksimal mungkin..., akhirnya uas pun tiba, kini dia tak lagi gundah gulana, kekhawatiran akan kondisi ibunya setidaknya tidak lagi membayangi dirinya.
                Sementara itu, sejak seminggu lalu hadir seorang gadis yang tinggal bersama keluarga tiar di pamekasan. dia adalah sepupu tiar, Zahra. Zahra merupakan gadis yang telaten, baik, dan perhatian serta sangat dekat dengan keluarga tiar. Zahra hadir diantara keluarga itu untuk membantu mengurusi ibu sumiarsih yang ternyata kondisinya tidak seperti yang dikabarkan. Akhir-akhir ini kondisinya semakin buruk saja bahkan sering beliau hanya mengigau nama tiar seharian dengan kondisi tubuh yang panas dingin. Zahra pun dengan telaten merawat dan mengompres supaya kondisi ibu sumiarsih membaik.
                “Zahra, surat dari bapak kemarin untuk kak tiarmu sudah dikirim ke pos kan..?”. tanya Pak Zainal pada Zahra yang sedang memasang kain kompres pada ibu sumiarsih.
                Spontan Zahra kaget mendengar pertanyaan Pak Zainal “Iya pak sudah Zahra kirim”. Dengan gugup Zahra menjawabnya.
                “mmm.., tapi kenapa belum ada surat balasan dari kakakmu yaa.., kenapa dia belum memastikan akan pulang atau tetap disana..?”. lanjut Pak Zainal.
                “Mungkin saja surat balasan dari kak tiar memang belum sampai pak”. Jawab Zahra menenangkan.
                “Iya, mungkin saja begitu”. Sambil tersenyum dan meninggalkan Zahra dan Ibu sumiarsih yang sedang tertidur.
                “Maafkan Zahra Pak.., Zahra memang telah mengirim surat itu tapi terpaksa Zahra mengubah isi surat itu karena tidak ingin mengganggu kak tiar yang sedang menjalani UAS, semoga saja keberadaan Zahra di sini akan bisa membantu sehingga kesehatan ibu kembali normal dan tak akan terjadi apa-apa, maafkan Zahra karena membohongi mas Tiar”. Zahra berucap dalam hatinya.
                Surat yang dikirimkan kepada tiar memang telah dirubah oleh Zahra dengan maksud agar tiar tidak terlalu memikirkan kondisi ibunya dan fokus pada uas yang akan dijalani. Dalam surat yang sebenarnya dari Pak Zainal dikabarkan bahwa kondisi ibu sumiarsih sedang tidak baik, dalam surat itu Pak Zainal juga memberi kebebasan pada tiar apakah akan pulang terlebih dahulu untuk sekedar mengobati rindu ibunya atau akan tetap berada di solo.., namun balasan kepastian dari tiar tak juga datang.
                Sejak hari pertama uas tiar tidak tinggal di kosnya.., dia memilih menerima tawaran dari temannya Fajar yang kebetulan juga berasal dari madura untuk belajar bersama di rumahnya yang lokasinya jauh lebih dekat dengan kampus dibandingkan tempat kos tiar. Fajar merupakan anak seorang pengusaha besi tua asal sumenep, dia cukup kaya. Selain di sumenep dia juga memiliki rumah di solo yang dia tempati sekarang.
                Satu minggu berlalu, Tiar begitu menikmati UAS kali ini. dia begitu percaya diri untuk meraih nilai maksimal. sementara itu, Pak Zainal mulai gelisah menunggu surat dari tiar yang tidak juga tiba mengingat kondisi ibu sumiarsih yang sepertinya semakin memburuk, namun meski begitu beliau manolak untuk dibawa ke rumah sakit.
                Kekhawatiran dan kecemasan dari bapak Zainal kini mulai berbuah kekesalan pada tiar. Bapaknya menduga tiar tidak mau membalas surat itu dan melupakan tentang kondisi kesehatan ibunya demi prestice yang baik dalam kuliah. Tiar memang seorang yang ambisius. Kekesalan tersebut berujung pada ditulisnya kembali surat untuk tiar oleh bapaknya.



Assalamu’alaikum Warohmatullahi wabarokatuh
          Do’a semua keluarga masih untuk Tiar, tapi kenapa akhir-akhir ini Bapak merasakan kehilangan anak bapak yang dulu. Bapak yakin anak bapak masih seorang tiar yang dulu, bapak percaya itu.
Kenapa Tiar tidak membalas surat dari bapak yang lalu..?, Tiar memang harus bisa sukses di kuliah tapi ada hal penting pula yang tidak boleh Tiar acuhkan setinggi apapun ambisi Tiar untuk sebuah kesuksesan itu... tiar kan sudah tahu seperti apa kondisi ibu, untuk kali ini bapak memohon pada tiar untuk pulang saja ke pamekasan karena kondisi ibu sudah semakin memburuk, bapak khawatir hal terburuk terjadi pada ibumu.., setiap saat ibumu hanya mengigau nama tiar.., mungkin ibu begitu merindumu Nak,,, bapak mohon pada tiar untuk pulang saja.., ingat nak siapa yang sebenarnya meneer itu.., bapak dan semua keluarga di sini menunggu kepulanganmu..
Sekian dulu nak, salam rindu juga dari ibumu,
                                                         
                                                                   “Zainal Arifin”



                Siang itu di kota solo begitu terik, panas mentari mampu mengeringkan sisa-sisa air hujan semalam di cekungan jalan. Pak Slamet, tukang pos yang ramah itu melintas dan berhenti tepat di tempat kos Tiar.., berulang kali Pak Slamet memangil nama tiar namun tak ada suara yang menyambut.., akhirnya Pak slamet titipkan surat itu pada Ibu kos yang kebetulan rumahnya berdampingan dengan kos tiar. Karena memang memiliki kunci cadangan ibu kos meletakkan surat itu di dalam, tepat di meja belajar tiar namun sayang tiar yang masih berada di rumah fajar memang berniat menginap hingga uas berakhir. Lagi-lagi surat itu tak sampai di tangan tiar.
                Suasana di pamekasan kini semakin mengkhawatirkan, semua orang di sana begitu panik melihat kondisi ibu sumiarsih yang terkulai lemas dan semakin buruk kondisinya, bahkan dalam sehari ini beberapa kali ibu sumiarsih mengalami kejang. Bapak Zainal kini diliputi oleh kekhawatirannya akan sang istri serta kekesalan perasaannya pada tiar yang tak juga datang setelah surat yang beliau kirimkan 4 hari yang lalu. Bahkan Bapak Zainal pun berniat menyuruh salah satu saudaranya untuk menyusul tiar di solo namun itu tak dilaksanakan mengingat kondisi ibu sumiarsih yang seolah lebih dekat pada maut. Akhirnya tepat pukul 22:00 WIB di malam jum’at seorang ibu bernama Sumiarsih menghembuskan nafas terakhir dan harus segera menghadap sang Pencipta meninggalkan semua carut-marut dunia. Kesedihan berkabung dalam rumah itu, Pak Zainal bersedih, Semua keluarga menangis kecuali Tiar yang tersenyum berada di perantauan sana dan tidak mengetahui keadaan yang mengharu-biru. Tiar tidak sempat mendampingi ibu yang dia sayangi disaat-saat terakhir hidupnya, tidak bisa mengantarkan ibunya disaat-saat sakaratul maut. Sempat terjadi perundingan diantara keluarga, akankah ibu Sumiarsih dikebumikan saat itu juga atau menunggu kedatangan tiar.., akhirnya dengan suara yang lantang, sebagai tetua dalam keluarga itu bapak Zainal memutuskan untuk segera mengebumikan jenazah di hari jum’at pagi tanpa harus menunggu ketidakpastian kedatangan seorang anak yang telah membuatnya kecewa kini, Bapak Zainal mengerutkan hatinya untuk Tiar, anak semata wayangnya. Namun, salah satu keluarga yaitu paman Tiar secara diam-diam menyusul Tiar ke solo.
Hari jum’at pun tiba, hari ini merupakan hari terakhir bagi para mahasiswa untuk menjalani UAS, juga hari dimana ibu sumiarsih akan dikebumikan. Semalam tiar bermimpi telah memetik setangkai bunga dan memberikannya pada sang ibu, mengalami mimpi seperti itu justru membuat tiar senang karena selain mengobati kerinduannya pada ibu tercinta dia mengartikan mimpi itu sebagai sebuah kebahagiaan, Tiar yakin ibunya akan segera sembuh dari penyakitnya dan segera akan mendapat hadiah darinya yaitu sebuah kesuksesan. Bayang-banyang ibunya dalam mimpi itu semakin membuat tiar semangat untuk segera pulang sehabis uas. Malam itu Tiar memang diajak Fajar untuk pulang bersama keluarganya naik mobil pribadi, memang terkesan mendadak namun Tiar tidak menolak ajakan dari fajar dan berniat untuk memberi kejutan kepada ibu tercintanya tanpa memberitahu kepulangannya kali ini.
Tepat ba’da maghrib tiar beserta fajar dan ayahnya meninggalkan kawasan UNS, namun mereka masih mampir ke kos Tiar untuk mengambil beberapa barang yang akan tiar bawa serta untuk berpamitan pada ibu kos. Karena sangat terburu-buru untuk mengemas barang-barangnya penglihatan tiar tidak sempat berjumpa dengan lembaran surat putih yang ibu kosnya letakkan di atas meja belajar. Tiar pun keluar dan langsung berpamitan pada ibu Kos. Mereka pulang menuju madura meninggalkan kota solo.
Sekitar 3 jam kemudian paman tiar yang diam-diam menyusul tiar sampai di tempat kos, karena tiar telah pulang meninggalkan kota solo, paman tiar hanya bertemu dengan ibu kos yang juga memberitahu bahwa sudah sekitar 2 minggu tiar tidak ada di kos dan baru tadi ba’da maghrib tiar kembali namun langsung berpamitan hendak pulang ke pamekasan. segera paman tiar pun bergegas kembali ke pamekasan.
Seperti biasa di negara ini kemacetan ada dimana-mana hingga tiar sampai di rumahnya, Pamekasan pada jam 8 pagi. Fajar dan ayahnya hanya mengantar tiar sampai di gang rumahnya. “sampaikan salamku pada keluargamu, Tiar” kata Fajar.
Dengan menggendong tas besar tiar melangkah sambil melemparkan senyum pada setiap pepohonan yang seakan menyambut kedatangannya.., selamat datang tiar.., selamat datang tiar.., begitulah terasa oleh perasaan tiar. Seorang tukang becak yang sudah tua di ujung gang menyapa Tiar. “Akhirnya kamu pulang Nak Tiar, yang sabar yaa..”. kata tukang becak itu.
Dengan langkah yang mantap tiar melanjutkan langkah kakinya. Senyum semangat dari bibirnya tak bisa terbendung untuk segera menyapa keluarga tercinta terutama ibu dan bapaknya, dia tampak begitu ceria. Dari kejauhan tiar melihat bendera warna hijau tepat di depan rumah yang mengusik perhatiannya. Hatinya gelisah, pikirannya mulai meracau kemana-mana dengan kekhawatiran. Semakin dekat mulai terlihat kesunyian di rumah itu.., dan kini tampak jelas apa yang tertulis di bendera warna hijau itu.., sebuah kalimat.. “Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”. Tiar berlari menuju pintu rumahnya yang tertutup dan memanggil keluarganya sambil mengetuk pintu.
Salah satu keluarganya yaitu Ibu Mutirah, adik dari ibu sumiarsih dan merupakan orang tua dari Zahra keluar membukakan pintu diikuti oleh Zahra., begitu terkejut saat Ibu Mutirah melihat tiar, dengan perasaan terharu dan berbalut kesedihan Ibu Mutirah memeluk Tiar sambil menangis sesenggukan tak mampu berucap sepatah katapun pada Tiar yang juga ikut menangis kala itu.
“Siapa yang datang Yu..?”. tanya bapak Zainal dari dalam rumah sambil berjalan keluar.
“Anuu...,..., mmm..., Tiarrr”. Jawab ibu mutirah terpatah-patah.
Belum sempat ibu Mutirah melanjutkan ucapannya, Bapak Zainal menarik tangan ibu Mutirah yang masih memeluk erat Tiar.
“Lepaskan anak itu Yu..!”. kata bapak Zainal.
Bapak Zainal tak bisa menahan kekesalannya saat itu, sebuah tamparan dua kali melayang di pipi kiri Tiar. Zahra dan Ibu Mutirah menjerit saat bapak Zainal menampar Tiar.
“Untuk apa kau datang saat ini.., kenapa tidak datang tiga tahun lagi dengan membawa prestice di tanganmu sebagai lulusan UNS dengan predikat cumlaude.., kenapa kau datang sekarang Cong.., kembali saja kau ke Solo ke UNS belajarlah tiap hari tiada henti siang malam.., kalau perlu jangan pernah mengingat keluarga ini bila itu mengganggu langkahmu mendapat prestice itu.., kau sangat mengecewakan Cong.., sadarkah kau dari rahim siapa kau dilahirkan, sadarkah kau yang mengajarimu tersenyum, bicara dan berjalan untuk pertama kali..., dia Sumiarsih namanya.., ibumu.., apa ini balasanmu untuk semua kebaikan yang tiada bandingan itu..?.., tanyakan padamu.., pantaskah kau disebut durhaka Nak”. Bapak Zainal ungkapkan kekecewaan dan kemarahannya pada tiar yang hanya tertunduk.
Tiar pun tersungkur lemas diantara kedua kaki bapaknya. Mendengar amara dari bapaknya membuat ketakutannya pun terbukti, kini dia tahu apa yang sebenarnya terjadi, bahwa ibu yang sangat dia cintai telah tiada., dia tersungkur lemas dengan tangisan yang mengharukan, tiar menyebut-nyebut ibu..ibu..ibu maafkan Tiar Bu dengan derasnya air mata yang jatuh dari balik matanya yang mulai bengkak.
Tangan Pak Zainal kembali terangkat untuk kembali memberi tamparan tersakit bagi hati Tiar namun Zahra terlebih dahulu menjerit dan ikut duduk bersimpuh diantara kedua kaki bapak Zainal. Dengan mata yang berhiaskan air mata dan hati yang penuh penyesalan Zahra menceritakan keadaan yang sebenarnya bahwa waktu itu dia sengaja mengubah isi surat dari Pak Zainal karena tidak ingin mengganggu kuliah kak tiarnya, karena Zahra tidak pernah menduga keadaannya akan seperti ini.
Tak ada yang menduga dengan apa yang dikatakan oleh Zahra.., Pak Zainal tak habis pikir dengan semua keadaan ini.., namun tak ada yang bisa dilakukan kini, kemarahan pun tak berarti saat ini.., sementara tiar masih tersungkur menangisi kepergian ibunya. Dia begitu sedih karena tidak bisa mengantarkan dan menemani ketakutan ibunya disaat-saat sakaratul maut, matanya semakin bengkak sementara air mata telah habis dan tak lagi keluar dari matanya.., meski begitu sesenggukan tiar masih bergaung seolah memanggil ibunya untuk kembali. Segera, pak Zainal merangkul tiar untuk berdiri., dan menggiringnya masuk ke dalam rumah. Belum sempat istirahat, Tiar minta pada Zahra untuk diantarkan ke makam ibunya., kembali sesenggukan Tiar terdengar saat dia bersimpuh diatas makam ibunya dengan tanah kubur yang belum kering, Tiar meminta maaf pada ibunya karena tak bisa menemani disaat-saat terakhir hidupnya.., Zahra dengan perhatiannya mencoba menenangkan perasaan Tiar meski dia juga merasa sangat bersalah atas keadaan ini.., meski dari matanya juga berjatuhan air mata. Meski dia tetap merasa sebagai penjahat dalam keluarga itu.

0 komentar:

Posting Komentar